Oleh: Trias Kuncahyono
JAKARTA, KOMPAS.TV - Ini kali ketiga, kami mengunjungi Parma. Kami diundang oleh Direktur “The Museum of Chinese Art and Ethnography of Xaverian Missionaries of Parma”, Chiara Allegri. KBRI Takhta Suci menjalin kerja sama budaya dengan Museum Xaverian.
Yang selalu saya ingat, Parma, kota yang dipisahkan dengan Roma sejauh 460 km ke arah utara itu, menyimpan kisah cinta Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) yang juga dikenal sebagai Napoleon I. Marie-Louise de Habsburg-Lorraine (1791 – 1847) dari Austria, putri Kaisar Romawi Suci, Francis II, istri kedua Napoleon I, tercatat sebagai “Duchess of Parma, Piacenza dan Guastalla.”
Baca Juga: Pompeii di Kaki Visuvius
Ia menjadi istri kedua setelah Napoleon I “melepaskan” istri pertamanya yakni Marie-Josèphe-Rose Tascher de La Pagerie (1763 – 1814). Ia “disingkirkan” karena bersamanya, Napoleon I tidak memiliki anak laki-laki. Ini dalih Napoleon Bonaparte saja untuk menceraikan karena kemudian menikahi Marie-Louise.
Di Parma, Marie-Louise tinggal di sebuah istana yang menurut catatan sejarah begitu indah. Namun, istana itu hancur menjadi sasaran pemboman pada masa PD II. Dahulu, istana itu, berdiri di depan “Pilotta Monumental Complex”.
Kami mengunjungi “Pillota Monumental Complex” itu bersama Chiara Allegri. “Pillota Monumental Complex” adalah salah satu pusat museum paling penting di Italia dan Eropa yang terdiri atas beberapa bangunan.
Bangunan-bangunan itu digunakan sebagai Galeri Nasional, Museum Arkeologi, Palatine Library, Farnese Theater dan Museum Bodoniano.
***
Baca Juga: Argos dan Odysseus
Di Galeri Nasional itulah kami “bertemu” Leonardo da Vinci (1452 – 1519) seniman besar yang lahir di Anchiano, dekat Vinci, Florence (Firenze) kotanya Niccolo Machiavelli (1469 – 1527) juga seniman besar lainnya, Michelangelo (1475 – 1564). Mereka hidup di zaman yang sama.
Leanardo da Vinci terkenal dengan karyanya, misalnya, The Last Supper, Mona Lisa, Salvator Mundi, St. John the Baptist, The Virgin and Child with St. Anne, Bacchus, Portrait of Isabella d’Este, Virgin of the Rocks, Adoration of the Magi, Annunciation, The Baptism of Christ, Portrait of a Musician, dan lainnya.
Di panel salah satu ruangan Galeri Nasional digantung sebuah lukisan perempuan setengah badan, kepala menunduh ke arah kanan, tersenyum tipis, mata melihat ke bawah, rambut ikal sebahu acak-acakan. Lukisan warna coklat, berukuran 24,6 x 21 cm, adalah sebuah lukisan kondang karya Leonardo da Vinci.
Ada keterangan tentang lukisan itu, yang ditempel di sisi lukisan: Testa di donna detta La Scapiliata 1492 – 1501; lalu di bawahnya ada tulisan Head of a Women Called La Scapiliata 1492 – 1501.
Mengapa diberi nama La Scapiliata? Pertanyaan itu terjawab dari rambut perempuan dalam lukisan itu. Rambut perempuan itu, tidak seperti rambut Mona Lisa yang mulai dilukis da Vinci pada tahun 1503. Tapi, acak-acakan. Itulah arti scapiliata.
Kata da Vinci, “Fa tu adonque alle teste li capegli scherzare insieme col finto vento intorno alli giovanili volti”, buatlah kepala dan rambutmu bercanda dengan angin palsu di sekitar wajah mudamu. Rambut perempuan itu sedang bercanda.
Rambut Mona Lisa disisir rapi. Tetapi, perempuan dalam lukisan itu acak-acakan. La Scapiliata berarti arti acak-acakan. Kata Pablo Picasso, “Seni bukanlah hanya tentang menciptakan yang indah, tetapi juga tentang memberikan makna.”
Seni rupa adalah sebuah instrumen untuk menjelaskan sebuah gagasan. Gagasan apa yang hendak disampaikan da Vinci lewat lukisannya itu? Yang pasti, apa yang dikatakan Pablo Picasso itu menginspirasi para seniman untuk tidak hanya fokus pada estetika, tetapi juga pada nilai dan makna dari karya seni yang mereka ciptakan.
La Scapiliata lahir ketika Eropa sedang mengalami masa perubahan. Penemuan Dunia Baru pada awal abad itu (Christopher Columbus menemukan Benua Amerika tahun 1492) membuka jalan bagi eksplorasi dunia lebih lanjut dan perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang signifikan.
Perubahan itu dimulai dengan gerakan Renassance (kelahiran kembali; disebut demikian karena intinya adalah kelahiran kembali ide-ide Romawi klasik kuno). Renaisans, yang dimulai di Italia abad ke-14, mulai meluas hingga ke Eropa.
Gerakan ini lahir di negerinya Leonardo da Vinci: Florence (Firenze) Italia. Para penulis, seniman, politisi, dan pihak-pihak menyatakan bahwa mereka berpartisipasi dalam revolusi intelektual dan artistik itu. Revolusi membawa mereka keluar dari Abad Kegelapan.
Keluarga Medici yang memerintah Florence waktu itu pendukung terkenal gerakan ini. Maka, keluarga Medici yang berkuasa di Florence disebut Godfathers of the Renaissance.
Walaupun, wangsa Medici pada akhirnya jatuh, setelah berkuasa dari 1434 – 1737 (dengan dua interval pendek, 1494 – 1512 dan 1527 – 1530). Karena dengan kekuasaannya yang seperti “tanpa batas” mereka mulai abuse of power: kejam dalam praktik bisnis, menggunakan segala cara, termasuk membunuh, memeras, menyuap, dan cara-cara yang kejam; mereka juga korup (Encyclopaedia Britannica).
Berbagai catatan mengungkapkan, secara historis, Renaisans penting. Karena menyebabkan perubahan besar dalam pemikiran dan pandangan dunia Eropa. Meskipun Renaisans diperkirakan dimulai di negara-negara kota di Semenanjung Italia, gagasan utama gerakan ini akhirnya menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke-16.
Maka dapat dikatakan, Renaisans mewakili titik balik dalam sejarah, masa ketika umat manusia berani melihat kembali masa lalunya untuk menemukan inspirasi bagi masa depan. Ini adalah masa ketika individu percaya pada potensi jiwa manusia yang tak terbatas dan berusaha mengeksplorasinya dengan segala cara. Warisan Renaisans Italia–yang hingga masih bisa dilihat– merupakan bukti kekuatan abadi kreativitas manusia dan dampak transformatif dari ide-ide.
Perubahan paling signifikan yang muncul akibat Renaisans dapat dilihat pada arsitektur, seni, sastra, matematika, musik, filsafat, politik, agama, dan sains Eropa.
Kata lara sejarawan, Renaisans adalah hasil dari konvergensi unik antara kemakmuran ekonomi, keingintahuan intelektual, dan penemuan kembali zaman klasik. Sementara negara-negara kota di Italia pada waktu itu memberikan kondisi ideal bagi perkembangan gerakan budaya dan intelektual ini.
***
Baca Juga: La Cène sur Un Scène sur La Seine
Sejarah menceritakan, gerakan budaya dan intelektual hanya bisa berkembang bila ada kondisi yang ideal: adanya jaminan kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan juga adanya terjadi interaksi budaya yang berbeda.
Di zaman seperti itulah, dahulu, misalnya, Leonardo da Vinci melahirkan antara lain, La Scapiliata, The Last Supper juga Mona Lisa; Michelangelo menghiasi langit-langit Kapel Sistina dengan The Last Judgment, membuat patung Pieta juga patung David; Raphael Santi melukis Holy Trinity, La Fornarina, dan juga The Transfiguration.
Mereka meninggalkan karya-karya yang menggetarkan dada dan hati. Sesungguhnya, merekalah para pencipta perdamaian. Walaupun, kata orang, karya seni lahir dari kegelisahan. Sebab, hanya jiwa yang bebas, yang tidak terbelenggulah yang mampu melahirkan karya-karya agung dan yang keagungannya melintasi zaman.
Saya amati lagi La Scapiliata karya Leonardo da Vinci, seniman agung itu. Karya yang belum rampung, kata mereka yang bergelut di dunia seni dan paham tentang da Vinci. Tapi, jangan-jangan, memang Leonardo da Vinci sengaja demikian….melukis perempuan dengan rambut acak-acakan, La Scapiliata...
Acak-acakan….***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.