A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined property: stdClass::$iframe

Filename: libraries/Article_lib.php

Line Number: 225

Backtrace:

File: /var/www/html/frontend-v2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 225
Function: _error_handler

File: /var/www/html/frontend-v2/application/controllers/Read.php
Line: 108
Function: gen_content_article

File: /var/www/html/frontend-v2/index.php
Line: 314
Function: require_once

Membuka Kotak Hitam Afganistan

Kompas TV kolom politik

Membuka Kotak Hitam Afganistan

Kompas.tv - 9 Maret 2020, 13:06 WIB
membuka-kotak-hitam-afganistan
(Sumber: Istimewa)
Penulis : Alexander Wibisono

Oleh Trias Kuncahyono

Ada peribahasa di Afganistan yang berbunyi, “Semoga Tuhan menjauhkanmu dari racun ular kobra, gigi harimau, dan balas dendam orang-orang Afghanistan.” 

Peribahasa tersebut memberikan gambaran betapa bahayanya Afganistan; bahaya selalu mengancam, termasuk mengancam kesepakatan perjanjian. 

Karena itu, memahami masyarakat Afganistan terlebih dahulu adalah sangat penting sebelum membangun kepercayaan dengan mereka.

Dalam bahasa lain, Khaled Hosseini, novelis—penulis The Kite Runner -kelahiran Afganistan menulis, “Di Afghanistan, Anda tidak memahami diri Anda semata-mata sebagai individu ... Anda memahami diri Anda sebagai seorang putra, saudara lelaki, sepupu seseorang, seorang paman dari seseorang. Anda adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda sendiri.”

Amy Chua (2018), menulis  kegagalan AS di Vietnam adalah karena kegagalan memahami masyarakat Vietnam. Bagaimana di Afganistan?

Dalam sejarah perundingan  dengan kelompok-kelompok pemberontak di Afghanistan, sulit untuk menemukan bahkan satu periode sekalipun, adanya perdamaian berkelanjutan.

Pada 1980-an, jauh sebelum kemunculan Taliban sebagai entitas tersendiri yang pada akhirnya menjadi kekuatan yang mematikan, Mujahidin secara teratur mengadakan perundingan damai dengan pemerintah Afghanistan yang didukung Uni Soviet, di bawah Kebijakan Rekonsiliasi Nasional (NRP) dari pemerintah Najibullah, yang dimulai pada tahun 1986 (Shubhangi Pandey: 2019). 

Namun, dengan tidak adanya bantuan keuangan dan militer dari Uni Soviet, Najibullah gagal mempertahankan kendali atas Angkatan Bersenjata Afghanistan, serta lembaga-lembaga politik nasional, yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan.

Kesepakatan Jenewa 1988, yang terdiri dari tiga perjanjian bilateral yang ditandatangani antara pemerintah Afghanistan dan Pakistan, di hadapan perwakilan dari AS dan Uni Soviet sebagai penjamin, juga gagal mengakhiri perang 15 di Afghanistan. 

Hal tersebut terjadi antara lain, pertama, Mujahidin tidak terlibat langsung dalam perundingan. Karena itu, Mujahidin merasa bahwa upaya diplomatik tersebut sebagai strategi untuk meminggirkan mereka secara sistematis.

Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kesepakatan damai gagal mengkalibrasi perjanjian pembagian kekuasaan yang potensial yang akan mempertimbangkan kepentingan dan partisipasi semua pemangku kepentingan domestik yang mungkin, termasuk berbagai milisi.

Apakah perundingan perdamaian yang antara AS dan Taliban, akan bernasib seperti perundingan perdamaian antara Uni Soviet dan Mujahidin? 

BACA JUGA TULISAN TRIAS KUNCAHYONO LAINNYA DISINI

Kotak Hitam
Bagi sebagian besar orang Amerika, Afganistan adalah kotak hitam (Amy Chua, 2018). Dengan menyatakan itu, Amy Chua ingin mengingatkan penting memahami struktur masyarakat Afganistan sebelum meneken kertas perjanjian.

Identitas kelompok paling penting di Afganistan  tidak sesuai dengan garis nasional, tetapi lebih berdasarkan etnis, suku, dan klan. Lagu kebangsaan Afghanistan, misalnya, menyebutkan empat belas kelompok etnis, empat terbesar adalah Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara.

Ada sejarah panjang permusuhan di antara keempatnya. Selama lebih dari 200 tahun, 1747-1973,  Pashtun mendominasi Afganistan. Selama masa itu, negara-negara Eropa tidak berhasil menundukkan Afganistan, meskipun Inggris dan Rusia pernah mencobanya.

Karena itu, banyak orang Pashtun mengira bahwa Afganistan adalah “negeri mereka.” Tetapi, mereka tidak hanya hidup di Afganistan, melainkan juga di Pakistan. Bahkan, lebih banyak orang Pashtun yang hidup dan tinggal di Pakistan ketimbang di Afganistan. 

Dominasi Pashtun mulai menyusut selama Perang Dingin. Pada tahun 1992, koalisi Tajik dan Uzbek mengambil-alih kekuasaan. Pashtun kehilangan kekuasaan mereka atas Kabul,  dan jatuh ke tangan Burhanuddin Rabbani, seorang Tajik.

Mereka, Pasthun, tidak hanya kehilangan Kabul, mereka juga kehilangan penguasaannya atas birokrasi negara. Bahasa Pashto yang sebelumnya mendominasi kehidupan masyarakat—digunakan oleh koran-koran, radio, dan televisi milik pemerintah—harus pula kehilangan perannya.  

Yang juga sangat memukul mereka adalah Pashtun kehilangan tulang punggung kekuatan mereka yakni militer Afganistan. Karena militer terpecah-pecah, dan jenderal-jenderal yang bukan dari etnik Pashtun, kemudian menguasai unit-unit militer. 

Situasi kemudian berbalik, setelah Uni Soviet keluar dari Afganistan (1989). Orang-orang  Pashtun yang membentuk gerakan Taliban--menurut Amy Chua, Taliban diambil dari bahasa Arab, Talib, yang berarti siswa atau Pashto dalam bahasa Pashtun yang berarti siswa--bergerak cepat dengan dukungan Pakistan.

Mereka bukan sekadar gerakan Islamis, melainkan juga sebuah gerakan etnik. Bahkan, Taliban adalah gerakan revolusioner (Gilles Dorronsoro, 2009). 

Mayoritas anggota kelompok ini adalah etnik Pashtun. Karena gerakan ini didirikan oleh orang Pasthun pada awal 1990-an dalam faksi Mujahidin, kelompok pejuang penentang pendudukan Uni Soviet di Afganistan (1979-1989) dengan dukungan AS (CIA) mitranya, ISI (Inter-Services Intelligence) dinas intelijen Pakistan (Zachary Laub, 2014). Mereka dilatih di Pakistan.

Gerakan ini menarik dukungan rakyat Afganistan di era pasca-Soviet. Janji mereka untuk memulihkan kembali dominasi Pashtun di Afganistan adalah bagian penting dari kebangkitan Taliban ke tampuk kekuasaan.

Menurut Gilles Dorronsoro, mereka sangat pandai mengeksploitasi kelemahan pemerintahan kaum minoritas Tajik. Apalagi, etnis Pashtun adalah paling banyak yakni, ketika itu, 40 persen dari jumlah penduduk Afganistan. 

Tetapi, menurut Taliban, kaum mayoritas telah dilupakan oleh pemerintah pusat (Kabul), dipimpin oleh para pemimpin non-Pashtun yang korup dan tidak adil.

Ketidakhadiran pemerintah yang dirasakan rakyat, dimanfaatkan oleh Taliban. Dengan kata lain, Taliban—yang mayoritas Pashtun—berusaha membangkitkan sentimen dan kebencian etnis.

Seth G Jones (2009) menulis, “Strategi Taliban adalah sangat inovatif dan efektif. Tidak seperti Soviet, mereka memfokuskan upaya awal mereka pada upaya dari bawah di pedesaan Afghanistan, khususnya Pashtun selatan. Mereka mendekati para pemimpin suku dan komandan milisi, serta para pendukung dan ... menawarkan untuk mengembalikan kendali Pasthun atas Kabul, yang saat itu dipimpin  Rabbani (Tajik)... Para pemimpin Taliban yang mampu berbicara dengan dialek lokal melakukan perjalanan ke desa-desa Pashtun dan pusat-pusat kebupaten.”

Inilah sebabnya, mereka begitu cepat dapat menguasai Afganistan. Menurut seorang cendekiawan Pashtun yang kemudian menjadi banker di bawah Presiden Hamid Karzai, Anwar-ul Haq Ahady, bagi banyak orang Pashtun, ketakutan marjinalisasi Pashtun “lebih penting, lebih berarti dibandingkan jatuhnya komunisme…Naiknya Taliban membangkitkan optimisme di antara orang Pashtun akan kembalinya kejayaan mereka.”

Pemimpin Taliban saat itu, Mullah Mohammad Omar (sekarang  Haibatullah Akhundzada menggantikan Mullah Mansoor, yang tewas dalam serangan udara AS di Pakistan pada tahun 2016), sangat memahami hal itu, politik kesukuan Afganistan, dibanding orang lain.

Akhir tahun 1996, mereka merebut Kabul dan menjatuhkan pemerintahan pimpinan Presiden Burhanuddin Rabbani, yang dianggap anti-Pashtun dan korup. Sejak itu, Taliban menguasai hampir seluruh Afganistan, sebelum disingkirkan pada tahun 2001. 

Pada bulan Desember 2001, digelar Konferensi Internasional mengenai Afganistan di Bonn, Jerman. Dalam konferensi dibentuk pemerintahan sementara Afganistan, yang dipimpin Hamid Karzai.

Konferensi dihadiri para pemimpin anti-Taliban, para pemimpin yang ikut memimpin perang melawan Uni Soviet, pada tahun 1980-an. Selain itu, dilibatkan juga para tokoh masyarakat yang diperkirakan dapat menghalangi proses state-building (Grant Farr, 2018). 

Kelompok Taliban, benar- benar disingkirkan, secara politik juga secara militer dengan terjadinya invasi militer oleh AS dan sekutunya yang memburu pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, setelah tragedi 9/11. Bahkan, pada Desember 2001, Wakil Presiden AS Cheney menyatakan, “Taliban tidak dilibatkan, seterusnya.” 

Akan tetapi, Taliban tidak tinggal diam. Kelompok ini terus berusaha untuk bangkit lagi, dan terus melakukan gerakan perlawanan. Awal 2005 gelombang pasang mulai berubah. Taliban, di bawah kepemimpinan Mullah Omar, dan dengan dukungan Pakistan dan negara-negara  lainnya, mulai menegaskan kembali diri mereka.

Pada 2006, Taliban telah membuat kemajuan yang signifikan, terutama di Afghanistan selatan dan timur di mana suku-suku Pashtun bersimpati dengan agenda Taliban.

Sementara AS dan sekutunya yang sejak tahun 2001 masuk Afganistan, terus melakukan operasi militer. Tetapi harga yang harus dibayar sangat mahal.

Secara keseluruhan hingga 2019, jumlah korban tewas mencapai sekitar 157.000 orang (2.298 personel militer AS; tentara dan polisi nasional Afganistan sebanyak 64.124 personel; pihak Sekutu/NATO sejumlah 1.145 personel; tentara oposisi sebanyak 42.100 orang; wartawan dan pekerja media sejumlah 67 orang, dan LSM kehilangan 424 orang ); lebih dari 43.074 orang di antaranya adalah penduduk sipil (Neta C. Crawford dan Catherine Lutz; 2019). 

Hingga tahun 2018, Taliban menguasai lebih dari 40 persen propinsi di Afganistan. Sementara. Menurut Laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) yang diterbitkan pada Januari 2019, wilayah yang dikuasai pemerintah Kabul adalah dihuni oleh 63,5 persen penduduk Afghanistan.

Jumlah tersebut 1,7 persen lebih rendah dari kuartal sebelumnya; sementara itu Taliban menguasai 10,8 persen penduduk.  Dengan kata lain, pemerintah mengendalikan lebih dari setengah dari total wilayah Afghanistan, sisanya dikuasai Taliban dan masih terus diperebutkan. 

Kini di bawah kepemimpinan Haibatullah yang pada umumnya dipandang  “lebih sebagai seorang cendekiawan Islam ketimbang ahli siasat militer” (Shubhangi Pandey, 2019), Taliban lebih kompak dibanding sebelumnya, dan memperoleh banyak kemajuan dalam bidang militer. Taliban sekarang memiliki sekitar 60.000 petarung.

Prospek Perdamaian

Kiranya uraian di atas cukup memberikan gambaran “seperti apa” kelompok Taliban itu. Kelompok ini di mata masyarakat internasional, dikenal sebagai kelompok yang tidak toleran serta tidak menghormati hak-hak asasi perempuan. 

Padahal, awal tahun 1960-an, konstitusi Afganistan memberikan jaminan  kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memberikan sumbangan penting bagi pembangunan nasional. Pada tahun 1977, ada sekitar 15 persen anggota legislatif adalah perempuan.

Diperkirakan pada awal 1990-an, 70 persen guru sekolah, 50 persen pekerja pemerintah dan mahasiswa, dan 40 persen dokter di Kabul adalah perempuan. Para perempuan Afganistan aktif dalam organisasi-organisasi kemanusiaan sampai Taliban memberlakukan pembatasan-pembatasan. 

Menurut Zahcary Laub, setelah berkuasa Taliban lupa pada janjinya di awal mula. Mereka lebih menekankan urusan-urusan yang berkaitan dengan agama.

Mereka, antara lain, mengharuskan kaum perempuan untuk mengenakan burqa atau chadri; melarang musik dan televisi. Bahkan, kaum laki-laki yang jenggotnya dianggap terlalu pendek, dipenjara. 

Biro Demorkasi, Hak-Hak Asasi Manusia dan Buruh, Kementerian Luar Negeri AS ( 2001) mengungkapkan, Taliban melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan, termasuk pemerkosaan, penculikan, dan pernikahan paksa.

Beberapa keluarga terpaksa mengirim anak perempuan mereka ke Pakistan atau Iran untuk melindungi mereka. Kaum perempuan Afghanistan dilarang untuk bekerja. 

Amnesti Internasional menyatakan, di masa Taliban berkuasa kaum perempuan dilarang sekolah, dilarang bekerja, dilarang meninggalkan rumah tanpa pengawal, dilarang mendapatkan pelayan kesehatan bila petugas kesehatannya laki-laki, tak mendapatkan akses pada kesehatan dan kaum perempuan juga dilarang terlibat dalam urusan politik dan berbicara di depan umum.

Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan kondisi lapangan seperti tersebut di atas, maka keberhasilan perundingan perdamaian dengan Taliban di Doha, Qatar akan tergantung pada keberlanjutan pengaturan pembagian kekuasaan antara pemerintah Kabul dengan Taliban.

Konferensi Bonn (2001) yang sama sekali menyingkirkan Taliban, tidak memberikan perdamaian sesungguhnya pada Afganistan. 

Oleh karena itu, kesepakatan politik yang dituangkan dalam kertas perjanjian harus benar-benar bisa diwujudkan. Bila tidak, maka perjanjian perdamaian akan berumur pendek. Meskipun, kecil kemungkinan Taliban akan menggunakan lagi cara-cara kekerasan seperti sebelumnya, karena cara itu sama sekali tidak mendapat dukungan rakyat, terutama kaum perempuan. Namun, Afganistan akan terus mengalami instabilitas politik dan akan terus menghadapi pemberontakan.*




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x