Sebagai pemohon, dua pihak tersebut ingin menguji secara konstitusional pasal tersebut, terutama soal kewenangan pemerintah dalam memutus akses internet terhadap konten yang memiliki muatan melanggar hukum.
Lantaran menurutnya, kewenangan tersebut dianggap harus didahului dasar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Selain itu, pembatasan akses konten internet juga merupakan bagian dari pembatasan hak atas informasi, berpendapat, dan berekspresi yang diatur di Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945. Karena itu, ketentuan pembatasannya, termasuk prosedurnya, harus diatur dalam UU.
Sebelum diajukannya uji materi pada September 2019, pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat karena demonstrasi dan kerusuhan akibat dampak ujaran bernada suku, agama, ras, dan antargolongan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Dampak dari pemutusan akses internet itu, di antaranya para jurnalis tidak bisa mengirim dan menerbitkan berita. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi juga dilanggar.
Atas kejadian itu, koalisi masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan dikabulkan. Namun, dalam perkembangannya, putusan kemudian dibatalkan di tingkat banding.
Pembatasan internet kembali terulang di Papua tahun 2021 saat terjadi kerusuhan di Papua akibat penolakan revisi UU Otonomi Khusus Papua.
Terkait uji materi ini, ada sejumlah pihak yang diminta keterangan di antaranya Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar.
Baca Juga: Hari Ini Kuota Internet dari Pemerintah Cair Lagi: Begini Cara Ceknya
Melalui keterangan tertulisnya, Kamis (2/9/2021), Elsam berpandangan, internet saat ini telah menjadi sarana kunci dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi pada 2011, bahwa internet adalah sarana utama bagi individu untuk menggunakan hak mereka atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Internet, sambung Elsam, menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia (HAM), memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan serta kemajuan manusia.
Warga negara tidak dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan publik, apabila tidak mendapat kebebasan untuk mendapatkan informasi, mengeluarkan pendapat, dan pandangannya secara bebas.
“Memastikan akses universal terhadap internet harus menjadi prioritas semua negara,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar
Oleh karena itu, meskipun pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dimungkinkan (derogable rights), pengaturan dan pelaksanaannya harus tunduk pada syarat dan prosedur yang ketat.
Pembatasan internet tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah.
Hal itu justru akan berdampak pada terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan hak tersebut atau bahkan pelanggaran terhadap HAM lainnya.
“Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE untuk menghindari pembatasan akses konten internet yang sewenang-wenang,” imbuh Wahyudi Djafar
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.