Kompas TV nasional peristiwa

Aksi Seorang Ibu Perjuangkan Ganja untuk Medis demi Anaknya, Jalan di CFD hingga Gedung MK

Kompas.tv - 26 Juni 2022, 18:54 WIB
aksi-seorang-ibu-perjuangkan-ganja-untuk-medis-demi-anaknya-jalan-di-cfd-hingga-gedung-mk
Seorang ibu melakukan aksi damai meminta tolong karena anaknya membutuhkan ganja untuk kesehatannya. (Sumber: Twitter Andien @andienaisyah)
Penulis : Baitur Rohman | Editor : Fadhilah

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sebuah foto seorang ibu yang membawa papan berisi kalimat "Tolong anakku butuh ganja medis" viral di media sosial.

Foto tersebut diunggah oleh penyanyi Andien lewat akun Twitter @andienaisyah pada Minggu, 26 Juni 2022. 

Dalam cuitannya, Andien mengungkapkan bahwa dirinya bertemu ibu tersebut di area Jakarta Car Free Day (CFD).

"Tadi di CFD, ketemu seorang Ibu yang lagi brg anaknya (sepertinya ABK) bawa poster yang menurutku berani banget .. Pas aku deketin beliau nangis ..," dikutip Kompas TV dari cuitan @andienaisyah, Minggu.

Ia juga mengatakan bahwa ibu tersebut bernama Santi. Ditemani suami dan anaknya, Santi mengungkapkan bahwa anaknya yang mengidap Cerebral Palsy. 

"Anaknya, Pika, mengidap Cerebral Palsy. Kondisi kelainan otak yg sulit diobati, dan treatment yang paling efektifnya pakai terapi minyak biji ganja/CBD oil," tutur Andien.

Baca juga: Pengadilan Brasil Legalkan Ganja Rumahan untuk Keperluan Medis, Sebut Pelarangan Tidak Saintifik

Berdasarkan penelusuran Kompas TV, Santi merupakan seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta.

Ia melakukan aksi tersebut untuk meminta keadilan ke hakim Mahkamah Konstitusi (MK). 

Aksi tersebut dia lakukan dengan berjalan dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan berhenti di depan Gedung MK, Jakarta Pusat.

Gugatan Ganja untuk Medis

Pada 2020 lalu, Santi bersama dua orang ibu lainnya mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tepatnya Pasal 8 ayat 1 dan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf A ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam tuntutannya, Santi meminta MK dapat mengubah bunyi pasal tersebut sehingga ganja dapat digunakan untuk terapi kebutuhan medis bagi anaknya.

Namun, setelah melewati 8 kali persidangan, belum ada putusan yang jelas terkait permohonan Santi tersebut.

Baca juga: Membludak, 150.000 Orang di Thailand Daftar Jadi Petani Ganja dan Hashish Hingga Situs Macet


Sementara itu, mengutip dari Kompas.com, sidang permohonan uji materiil terhadap undang-undang tersebut pernah digelar pada Kamis (20/1/2022), dengan agenda "mendengarkan keterangan ahli Presiden" yakni Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy.

Dalam sidang tersebut, Rianto bersikap kontra dengan para pemohon yang menginginkan agar ganja dapat dilegalkan untuk layanan kesehatan.

Menurutnya, sikap konservatif lebih baik karena manfaat yang ditawarkan belum seimbang dengan risiko yang mungkin timbul karena penggunaan ganja sebagai obat.

"Menurut hemat saya, ini pertimbangan risiko dan manfaat. Saat ini, kita melihat bahwa indikasi-indikasi yang diklaim dapat diobati dengan kanabis (ganja), untuk itu tersedia banyak pilihan obat lain yang telah dibuktikan aman dan efektif sehingga mendapatkan izin edar," ucap Rianto.

"Dalam kondisi seperti ini, kita tidak melihat urgensi dalam hal ini (legalisasi ganja untuk medis). Lebih baik kita lebih konservatif, karena obat ini berpotensi untuk menimbulkan masalah, terutama terkait dampaknya pada masyarakat," Jelasnya.

Rianto mengaku belum sependapat dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk keperluan medis.

Kata dia, masih ada beberapa kelemahan dalam studi-studi tersebut, sehingga belum ada data yang cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan ganja sebagai obat.

Baca Juga: Festival Ganja Digelar di Thailand Usai Legal, Restoran Ikut Sajikan Hidangan Ganja

"Adanya bukti (bahwa suatu zat/obat efektif mengatasi indikasi penyakit) bukan merupakan satu-satunya dasar pertimbangan suatu obat bisa diterima. Potensi manfaat selalu harus diimbangi dengan pertimbangan potensi dampak negatifnya seperti apa," ujar Rianto.

"Kalau seimbang, mungkin masih bisa kita terima. Tapi kalau misalnya potensi dampak negatif keamanannya lebih besar, kita terpaksa mengatakan tidak, walaupun bisa dikatakan dia punya efektivitas," ia menambahkan.

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x