Kompas TV nasional kompas petang

BPOM Perlu Bentuk Tim untuk Nilai Hasil Penelitian Penggunaan Ganja untuk Medis

Kompas.tv - 27 Juni 2022, 19:32 WIB
bpom-perlu-bentuk-tim-untuk-nilai-hasil-penelitian-penggunaan-ganja-untuk-medis
Prof Zubairi Djoerban menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu membuat tim yang menilai hasil-hasil penelitian penggunaan ganja untuk medis atau pengobatan. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu membentuk tim yang menilai hasil-hasil penelitian penggunaan ganja untuk medis atau pengobatan.

Hal itu disampaikan oleh Prof Zubairi Djoerban, konsultan hematologi onkologi medik, dalam dialog Kompas Petang Kompas TV, Senin (27/6/2022).

Pernyataan Zubairi tersebut disampaikan menanggapi adanya tuntutan dari seorang ibu bernama Santi Warastuti kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalkan ganja untuk pengobatan anaknya.

Untuk diketahui, menurut Santi, anaknya divonis mengidap cerebral palsy, dan kondisi kesehatannya dapat tertolong dengan penggunaan ganja.

Zubairi mengatakan, pada prinsipnya, obat untuk penyakit cerebral palsy cukup banyak. Tetapi tidak semuanya berhasil.

Baca Juga: Ibu yang Tuntut Legalisasi Ganja Medis ternyata Pernah Tolak Minyak Cannabis

“Pada prinsipnya, celebral palsy obatnya banyak banget, dan memang tidak semuanya berhasil,” kata dia.

“Jadi menurut saya, kalau kita bicara mengenai cannabis ini, harus ada tim untuk menilai bagaimana hasil penelitian sekarang.”

Ia mengakui bahwa ganja memang legal digunakan untuk pengobatan di Australia, tetapi itu bukan sebagai terapi primer.

Sehingga, pengobatan menggunakan ganja di sana tidak bisa menggantikan obat utamanya. Tetapi sebagai obat pilihan lain.

“Saya kira kali ini BPOM perlu membuat tim, untuk menilai hasil-hasil penelitian. Kan kita sekarang banyak belajar dari aman Covid-19 ini bahwa tidak semua obat bisa disetujui oleh BPOM.”

“Jadi pertama harus ada isinya apa, apakah tetrahydrocannabinol atau yang satunya lagi. Kemudian apakah uji klinis satu, dua dan tiga memenuhi syarat atau tidak,” lanjutnya.

Karena ganja medis sudah banyak sekali dipakai di Australia, dan di sejumlah negara lain, lanjut Zubairi, bisa dikatakan bahwa post marketing surveilance-nya sudah ada.


Baca Juga: Viral Seorang Ibu Butuh Ganja Medis Untuk Anaknya, Begini Respons DPR

“Jadi saya kira datanya sudah lengkap untuk menilai seberapa besar manfaatnya kalau dibandingkan dengan obat standar yang saat ini sudah ada.”

“Dan memang dengan obat apa pun ada yang berhasil, ada yang kurang berhasil. Jadi memang harus dibandingkan baik-baik,” tuturnya.

Jika nantinya hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ganja positif sebagai bahan pengobatan, ia mempersilakan BPOM untuk memberi izin penggunaan.

“Silakan kalau mau diberi izin ataupun emergency dulu izinnya.”

“Tapi memang tidak bisa begitu saja diberi izin tanpa menilai hasil uji klinis satu, dua, tiga yang sekarang ini sudah banyak di Amerika, Australia banyak banget, sehingga bisa diputuskan apakah akan lebih banyak menolong atau sebaliknya,” urainya.

Meski demikian, dia menyebut bahwa ada bahaya penyalahgunaan jika nantinya ganja dilegalkan di Indonesia.

Upaya Legalisasi Ganja untuk Pengobatan

Sebelumnya diberitakan Kompas TV, Santi menceritakan upayanya menuntut legalisasi ganja sejak tahun 2020 lalu, yang hingga saat ini belum membuahkan hasil.

Permintaannya agar Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan ganja untuk pengobatan berawal dari kondisi kesehatan putrinya.

Sang putri, Fika, mulai sakit sejak tahun 2015 lalu, saat Santi masih bekerja di salah satu perusahaan di Bali.

“Jadi Fika mulai sakit itu tahun 2015, berawal dari anak yang sehat, periang. Dia mulai sakit ketika TK nol besar,” kata Santi sambil menahan isak, dalam dialog di Kompas Petang Kompas TV, Senin (27/6/2022).

Saat berada di sekolah, Fika beberapa kali pingsan, lemas, dan muntah-muntah.

Ia pun membawa Fika pulang dan beristirahat selama satu hingga dua hari, sampai Fika merasa kembali sehat dan bisa bersekolah.

Tapi, peristiwa itu berulang hingga beberapa kali, bahkan Fika mengalami kejang. Sampai akhirnya Santi membawanya untuk periksa ke dokter ahli syaraf.

“Setelah itu muncul kejang. Kita bawa ke dokter syaraf anak. CT scan, divonis epilepsi, karena kejang tanpa demam.”

“Sejak saat itu Fika mulai minum obat antikejang. Lama kelamaan kejang masih ada, kemampuannya menurun, motorik kasar menurun, motorik halus menurun,” lanjutnya.

Lama kelamaan kondisi kesehatan Fika semakin menurun, hingga anak kecil itu tidak mampu lagi berjalan, dan harus keluar masuk rumah sakit.

Kejang yang dialami oleh Fika pun terus berulang, dan akhirnya sampai kondisi yang seperti saat ini.

“Pertama memang vonisnya epilepsi, kemudian muncul radang otak, kemudian dengan kondisi seperti ini dia disebut cerebral palsy.”

Baca Juga: Aksi Seorang Ibu Perjuangkan Ganja untuk Medis demi Anaknya, Jalan di CFD hingga Gedung MK

Awal gejala penyakit tersebut, kata Santi, muncul saat Fika berumur sekitar enam menuju tujuh tahun. Saat itu, kata Santi, Fika mulai sama sekali tidak bisa jalan.

Hingga kini upaya pengobatan yang ditempuh oleh Santi untuk Fika masih terus berjalan. Ia secara rutin melakukan kontrol ke rumah sakit.

“Kontrol rutin tiap bulan, kami menggunakan BPJS, di sana obat-obatan memang ter-cover, terapi juga. Fika minum obat kejang itu tiga macam, dan itu belum menghentikan kejangnya sama sekali,” tambahnya.

“Kalau ada alternatif lain, ada obat lain yang bisa memperbaiki kualitas hidup Fika, salah saya apa? Saya di jalan yang benar begitu lho, Mbak.”




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x