Kompas TV nasional hukum

Bersih-Bersih Polri: Beda Pendapat Direktur Jaringan Moderat Indonesia dan Dewan Pakar PERADI

Kompas.tv - 23 Agustus 2022, 19:41 WIB
bersih-bersih-polri-beda-pendapat-direktur-jaringan-moderat-indonesia-dan-dewan-pakar-peradi
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengatakan kasus penembakan Brigadir J dapat menjadi momentum untuk melakukan bersih-bersih di tubuh Polri, tetapi jangan membombardir ke segala arah. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dapat menjadi momentum untuk melakukan bersih-bersih di tubuh Polri. Tetapi jangan sampai menjadi senapan mesin yang membombardir ke segala arah.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi dalam dialog Kompas Petang Kompas TV, Selasa (23/8/2022).

Islah menilai kepolisian serius melakukan bersih-bersih di internal mereka karena momentum ini memang harus menjadi sesuatu yang berarti untuk reformasi.

“Tapi memang kita harus membagi berbagai klaster-klaster dari mereka yang dipanggil oleh Irsus ya, oleh timsus, oleh Irsus juga,” ucapnya.

Artinya, kata Islah, harus dibedakan antara pihak-pihak yang merusak tempat kejadian perkara (TKP), melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum, dan korban psikohierarkis.

Islah pun mengutip pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengatakan bahwa ada beberapa orang, dan mungkin hampir seluruh orang, termasuk Kapolri menjadi korban prank.

Baca Juga: Sorotan soal Dana yang Dikelola ACT, Islah Bahrawi Tegaskan Tak Ada Kaitannya dengan Politik

“Orang-orang yang jadi korban prank ini, kalau kemudian terpaksa dikenakan hukuman yang sama dengan klaster yang pertama dan kedua, saya kira memang tidak bisa dijadikan kemudian kasus ini menjadi senapan mesin yang dibombardir ke segala arah, lalu berefek kepada amputasi-amputasi.”

Menurutnya, jika itu dilakukan, tidak akan menyelesaikan persoalan, karena perkara yang ada di dalam Polri adalah filosofi-filosofi Polri yang sudah semakin menghilang.

Misalnya, lanjut dia, Polri tidak harus mengacu pada penegakan hukum atau law enforcement saja, tetapi harus diubah menjadi pencegahan kejahatan atau crime prevention.

“Nah ini yang harus diubah, kulturnya, kultur operasionalnya yang harus diubah. Sehingga kejadian seperti ini, bersih-bersih ini juga harus mengacu kepada filosofi kepolisian yang sudah mulai berubah arah.”

Menurut Islah, tingkat keterlibatan sejumlah personel Polri dalam kasus Brigadir J tidak bisa dipukul rata. Pengenaan hukum pidana, kata dia, juga seharusnya dijatuhkan kepada mereka yang terlibat dalam obstruction of justice.

“Tapi, ini kan memang tidak bisa dipukul rata tingkat keterlibatan mereka.”

“Kita memang boleh mengenakan hukum pidana kepada orang yang betul-betul dianggap terlibat dalam obstruction of justice, apalagi yang berusaha merusak TKP,” jelasnya.

Dewan pakar PERADI, Usman Hamid, menyebut penegak hukum termasuk polisi yang terbukti melakukan tindakan obstruction of justice seharusnya menerima pemberatan hukuman pidana. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

Pernyataan Islah tersebut ditanggapi oleh Usman Hamid, dewan pakar PERADI, yang menilai tindakan dalam kasus dugaan obstruction of justice terkait kasus Brigadir J, berada dalam satu klaster yang sama.

“Saya kira keseluruhan tindakan yang diklasterkan itu sama, berada di bawah payung obstruction of justice,” jelas Usman.

“Kalau kita baca baik-baik Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka baik itu merusak, menghilangkan, membuat tidak terpakai, menghancurkan, hampir seluruh pendefinisian tentang obstruction of justice ada di sana semua. Jadi satu klaster dia tentang obstruction of justice.”

Usman juga menyanggah pernyataan Islah yang menyebut bahwa kasus ini membabi buta ke arah mana pun.

Sebab, lanjut Usman, jika kita berbicara tentang 83 personel Polri yang diduga terlibat dalam obstruction of justice, jumlahnya tidak sampai satu persen dari total jumlah anggota Polri.

“Kalau kita bicara 83 orang ini, berapa sih persentasenya dibandingkan 460 ribu anggota kepolisian,” ucapnya.

“Bahkan kalau kita bicara satgas khusus yang jumlahnya 439 di bawah Ferdy Sambo, berapa persen? Tidak sampai satu persen dari 460 ribu anggota kepolisian,” tegasnya.

Sehingga, terhadap mereka yang diduga terlibat dalam obstruction of justice, menurut Usman, hanya seperti mencabut duri di dalam daging kepolisian.


Baca Juga: Pakar Peradi Sebut Terduga Pelaku Obstraction of Justice Harus Ditahan Proses Pidana

Menurutnya, hal itu memang menyakitkan dan pahit, bahkan mungkin akan menimbulkan sakit yang luar biasa, tapi itu akan menyembuhkan.

“Dan ingat, tidak semua perwira tinggi kepolisian ada di Satgas Khusus, ada sejumlah perwira tinggi yang saya kira bersih dari jaringan, atau dari hubungan-hubungan subyektif atau dari kendala psikohierarki,” kata Usman.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x