Kompas TV nasional sosial

VSED: Bunuh Diri Pelan-Pelan dengan Cara Sengaja Mati Kelaparan dan Kehausan

Kompas.tv - 12 November 2022, 20:39 WIB
vsed-bunuh-diri-pelan-pelan-dengan-cara-sengaja-mati-kelaparan-dan-kehausan
Ilustrasi jasad. Bunuh diri dengan cara tidak makan hingga dehidrasi dan mati kelaparan atau voluntarily stopping eating and drinking (VSED) bukanlah hal baru dan kerap dikampanyekan advokat eutanasia sebagai cara terhormat mengakhiri hidup. (Sumber: IANS)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus satu keluarga yang ditemukan tewas di Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (10/11/2022) lalu menggeggerkan publik dan menyisakan sejumlah kejanggalan. Keluarga kecil beranggotakan empat orang itu ditemukan tewas tanpa bekas kekerasan dan meninggal pada waktu yang tidak bersamaan.

Kasus tersebut saat ini tengah dalam penyelidikan kepolisian. Pihak kepolisian pun menyebut para korban ditemukan tanpa sisa makanan di lambung. Kulkas di rumah juga kosong melompong. 

"Perabotannya itu ada, kulkas ada, tapi isinya kosong. Enggak ada makanan, bener-bener kosong," kata Kapolsek Kalideres AKP Syafri Wasdar pada Jumat (11/11) lalu.

Mungkinkah Bunuh Diri?

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan kronologi atau penyebab keluarga itu diduga tidak makan hingga ditemukan meninggal dunia. Polisi pun tengah menyelidiki unsur bunuh diri dalam kasus ini.

Baca Juga: [FULL] Kesaksian Ketua RT Pertama Kali Dobrak Rumah Satu Keluarga Tewas di Kalideres

Bunuh diri dengan cara tidak makan hingga mati kelaparan atau voluntarily stopping eating and drinking (VSED) sendiri bukanlah hal baru. Bahkan, cara ini tengah dikampanyekan oleh komunitas pendukung eutanasia sebagai cara bunuh diri yang terhormat.

VSED kerap dirujuk sebagai cara terbaik bagi seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya tetapi tinggal di negara yang melarang eutanasia. VSED dipandang bisa menjadi celah hukum di negara yang melarang eutanasia. Pasalnya, negara-negara di dunia secara umum tidak memiliki instrumen hukum yang bisa memaksa warganya makan.

Pelaku VSED: Akali Hukum demi Sambut Kematian

Menurut riset Natasa Ivanovic dan kawan-kawan di jurnal BMC Palliative Care, usai meninjau berbagai literatur tentang VSED, kematian dengan cara itu jarang dicatat sebagai statistik resmi. Sebuah studi dari Belanda memperkirakan jumlah kematian melalui VSED di seluruh dunia rata-rata mencapai 2.800 kematian per tahun dengan prevalensi 2,1% kematian per tahun.

Umumnya, alasan-alasan utama pelaku VSED adalah kesiapan untuk mati, menganggap hidup sudah tidak berarti, buruknya kualitas hidup, hasrat untuk mati di rumah, dan keinginan untuk mengontrol situasi kematian.

Cara itu pun ditempuh berbagai orang dengan penyakit parah yang enggan pergi ke Swiss atau negara-negara lain yang melegalkan eutanasia. Salah satunya adalah Michael Askham, warga Inggris Raya pada 2020 lalu.

Michael divonis mengidap penyakit saraf motorik yang sudah parah. Ia pun ingin mengakhiri hidup sendiri. Pasalnya, jika tidak bertindak, eks perawat NHS ini yakin akan kehilangan fungsi-fungsi motorik hingga berpotensi mati tercekik ludah sendiri.

Michael memilih VSED sebagai cara mempercepat kematian. Alasannya, hukum Inggris melarang asistensi bunuh diri.

"Semua elemen kehidupan pelan-pelan diambil dari saya. Bersosialisasi, menyanyi, makan, minum, lari, berjalan, main gitar, bekerja, dan menyetir. Hidup tidak lagi memberi saya kegembiraan yang cukup untuk dilanjutkan," kata Michael kepada The Independent, Februari 2020 lalu.

Baca Juga: Ada Semangkuk Kapur Barus di Meja Makan Rumah Sekeluarga yang Tewas di Kalideres, Ini Kata Polisi

Jelang kematiannya, Askham dan pasangannya pun mendesak Inggris segera mengubah hukum untuk melegalkan eutanasia. Istri Askham, Nikki menyesalkan keterpaksaan sang suami yang mesti "melapuk dari leher ke bawah."

"Sebagai ibu dari anak-anak Michael dan teman terbaiknya dan sudah bekerja di NHS selama 29 tahun, saya rasa dia benar-benar memiliki pikiran sadar. Dia tidak sedang depresi atau cacat dalam mengambil keputusan. Dia ingin mati secara terhormat," kata Nikki.


 

VSED: Kematian Menyakitkan dengan Dehidrasi

Mempercepat kematian dengan VSED bisa berlangsung pelan-pelan dan menyakitkan. Wesley J Smith, peneliti senior Pusat Eksepsionalisme Manusia di Institut Discovery, menyebut kematian via VSED bisa berlangsung selama berpekan-pekan. Ia pun mengkritik keras advokat eutanasia yang mulai mengampanyekan VSED.

Dalam artikelnya yang dipublikasikan pada Desember 2018, Wesley menyorot betapa VSED semakin gencar dikampanyekan sebagai cara "mati dengan hormat" di negara-negara yang melarang asistensi bunuh diri.

"Kelaparan dan dehidrasi mungkin berlangsung berpekan-pekan (sebelum kematian tiba), dan kemungkinan melibatkan kerusakan substansial dan menyakitkan dari membran-membran halus, ledakan, dan penderitaan fisik lain sebagai akibat tubuh yang ingin hidup dielakkan dari makanan yang penting," tulis Wesley.

Sementara itu, Julia Schwarz, Direktur Klinis End of Life Choices New York (EOLCNY), lembaga konsultan akhir hidup yang berbasis di Amerika Serikat (AS), menyebut penderitaan VSED bisa dikurangi dengan dukungan medis.

Baca Juga: Klinik Eutanasia Jerman Tolak Klien yang Belum Divaksin Covid-19

Schwarz menyebut, selama proses VSED, seseorang mestinya mendapat dukungan sosial dan psikologis yang cukup dari keluarga atau orang dekat. Menyewa perawat pun dipandang penting untuk menunjang kehidupan pelaku VSED menjelang mati.

"Isu-isu ini harus diantisipasi dan direncanakan ketika orang itu masih kapabel membuat keputusan dan bisa memberi instruksi secara efektif ke agen kesehatan mereka, perawat, dan orang-orang terkasih tentang keputusan mereka menolak segala asupan oral di hari depan," tulis Schwarz.

"Mereka juga harus mendiskusikan respons jika orang itu melupakan hasrat mereka mempercepat kematian dan meminta cairan," lanjutnya.

Lebih lanjut, Schwarz menegaskan bahwa penyebab kematian melalui VSED bukanlah kelaparan, melainkan dehidrasi. Jangka waktu kematian pun dapat berbeda-beda.

Bagi seseorang dengan penyakit parah, jangka hayat "yang umum" adalah satu hingga dua pekan setelah melakoni VSED. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki penyakit parah, kematian bisa datang setelah tiga pekan atau lebih.

Lebih lanjut, Schwarz mengklaim VSED secara umum tidak menyakitkan. Namun, ia mengakui bahwa rasa haus atau kering di mulut dapat terasa "menantang."

Sebagai solusi, ia menyarankan pelaku VSED untuk tetap merawat mulut dengan cara seperti berkumur, menggosok gigi, menggunakan ludah artifisial, atau menyemprotkan cairan ke dasar tenggorokan. 

Baca Juga: Adik Korban Keluarga Tewas di Kalideres Buka Suara! Ungkap Kehidupan Korban hingga Putus Kontak




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x