Kompas TV regional kriminal

Pengawasan Ketat Meminimalisir Tindak Kejahatan Pada Anak, Benarkah?

Kompas.tv - 19 September 2022, 11:10 WIB
pengawasan-ketat-meminimalisir-tindak-kejahatan-pada-anak-benarkah
Penculikan yang marak terjadi karena anak luput dari pengawasan orangtua (Sumber: Freepik)
Penulis : Ristiana D Putri | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Bahaya kejahatan yang mengintai anak-anak kini kian marak terjadi. Hal ini juga semakin terlihat berkat jangkauan informasi yang tersebar secara cepat dan luas dengan hadirnya internet.

Momentum yang sering ditemukan pada tindak kejahatan pada anak adalah saat anak berada sendirian tanpa pengawasan orang terdekatnya. Maka dari itu, kewaspadaan diperlukan dengan memberikan pengawasan penuh pada anak. 

Salah satu jenis kejahatan yang kerap ditemui adalah penculikan anak. Amerika Serikat pernah mengalami sejarah kasus penculikan anak yang panjang yang menghasilkan UU tentang Penculikan yang diperkuat.

Salah satu kasus menghebohkan adalah penculikan bayi Linbergh yang dibahas dalam siniar Tinggal Nama berjudul “Penculikan Bayi Linbergh [Pt. 1]

Menurut UUD RI tahun 1945 Pasal 28 B ayat (2) dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Oleh karenanya, kejahatan pada anak harus dengan giat diberantas. Berikut adalah beberapa tindak kejahatan yang bisa menimpa anak.

Baca Juga: Pelaku Percobaan Penculikan Siswi SMP di Jakarta Timur Gunakan Mobil Berpelat Palsu

Penculikan Anak

Bahaya penculikan anak sejak dulu menjadi momok menakutkan bagi orangtua. Penculikan dapat terjadi di mana saja dengan tidak memandang jenis kelamin atau usia anak. Dalam hal ini, keselamatan anak juga dipertaruhkan.

Terlebih pada anak yang masih belum mengerti baik dan buruk suatu hal, ia akan dengan mudah menuruti ajakan orang lain yang belum dikenalnya. FBI mengatakan bahwa penculikan membutuhkan penyelidikan pendahuluan untuk mengevaluasi bukti, keadaan, dan informasi.

Oleh sebab itu, penculikan anak oleh orang asing sering kali rumit dipecahkan, padahal  waktu yang terlewat sangat penting.

Di Indonesia sendiri waktu lapor untuk kasus ini adalah 2 x 24 jam, padahal banyak hal yang dapat menimpa anak sebelum polisi dibolehkan melakukan tindakan. Hal ini terlihat dari berbagai kasus penculikan anak yang terjadi di Indonesia.

Salah satunya kasus yang dimuat Kompas mengenai penculikan 12 anak di Bogor dengan 3 orang anak yang diduga mengalami tindak kekerasan seksual.

Baca Juga: Miris! 4 Anak Usia 13 Tahun Ditangkap Polisi Karena Perkosa Siswi SMP di Cilincing

Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Kasus ini sangat marak ditemui. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan orang dewasa atau orang yang lebih tua, yang menggunakan anak untuk memuaskan kebutuhan seksualnya.

Dalam hal ini, orang dewasa yang memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak terutama anak di bawah 14 tahun disebut pedofil, dan kelainan seksualnya disebut pedofilia.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak nyatanya masih menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak melapor atau bahkan orangtuanya yang enggan melapor.

Padahal hingga dewasa, trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak akan membekas. Trauma ini di antaranya hilangnya kepercayaan terhadap orang lain terutama orang dewasa, trauma secara seksual, merasa tidak berdaya, dan stigma.

Bentuk kekerasan seksual yang bisa terjadi pada anak di antaranya pencabulan, pemerkosaan, sodomi, bahkan inses.

Baca Juga: 4 Kisah Penculikan Anak Paling Terkenal yang Tidak Terlupakan

Eksploitasi Anak

Eksploitasi anak sudah menjadi rahasia umum yang terjadi di sekitar kita. Hal ini seolah sangat lazim ditemukan terutama di kota-kota besar. Eksploitasi yang paling umum berwujud anak-anak yang dipaksa orangtua atau orang terdekatnya untuk bekerja.

Eksploitasi anak disimpulkan juga sebagai bentuk perbuatan yang memanfaatkan anak sesuai kehendak untuk kepentingan dirinya sendiri yang dilakukan oleh keluarga atau orang lain dan perbuatan tersebut mengganggu tumbuh kembang fisik dan mental anak.

Bentuk eksploitasi ada bermacam-macam, seperti bentuk eksploitasi ekonomi—seperti yang telah disebutkan—, bentuk eksploitasi seksual, dan eksploitasi sosial.

Padahal undang-undang sudah jelas melarang dengan tegas tindak eksploitasi pada anak seperti yang dimuat dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang ini membahas mengenai larangan bagi semua pihak, termasuk orang tua untuk melakukan eksploitasi pada anak, baik eksploitasi ekonomi dan/atau eksploitasi seksual.

Pengawasan yang ketat dari orang yang tepatlah yang dapat meminimalisir kejahatan pada anak. Hal ini karena hingga detik ini masih banyak kejahatan terhadap anak yang dilakukan oleh orang di sekitarnya sendiri.

Simak cerita mengenai kejahatan pada anak dan bagaimana aparat Amerika Serikat menanganinya dalam audio drama siniar Tinggal Nama yang bertajuk, “Penculikan Bayi Linbergh [Pt. 1]” hanya di Spotify, atau dengarkan lewat tautan berikut https://dik.si/tn_bayilindbergh1.
 

Penulis: Nika Halida Hashina dan Ikko Anata


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x