Eks Komandan Kelompok Pemberontak Tentara Tuhan Uganda Divonis Bersalah atas Kejahatan Kemanusiaan
Kompas dunia | 14 Agustus 2024, 05:50 WIBKAMPALA, KOMPAS TV - Seorang mantan komandan kelompok pemberontak Lord's Resistance Army (LRA) atau Tentara Tuhan di Uganda dinyatakan bersalah atas puluhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Keputusan ini menjadi momen penting bagi banyak warga Uganda yang selama puluhan tahun menjadi korban kekejaman kelompok ini.
Thomas Kwoyelo, mantan komandan LRA, akhirnya pada Selasa (13/8/2024) divonis bersalah oleh Pengadilan Tinggi di Gulu, kota di utara Uganda yang dulu jadi wilayah operasi kelompok pemberontak ini.
Ini adalah pertama kalinya kasus kejahatan berat seperti ini disidangkan di bawah divisi khusus Pengadilan Tinggi yang menangani kejahatan internasional.
Kwoyelo didakwa atas berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penjarahan, perbudakan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Dari 78 dakwaan yang diajukan, ia dinyatakan bersalah atas 44 dakwaan yang berkaitan dengan kejahatan yang terjadi antara tahun 1992 dan 2005.
Hingga saat ini, belum jelas kapan hukuman untuk Kwoyelo akan dijatuhkan.
Kwoyelo telah berada dalam tahanan sejak 2009, sementara pihak berwenang Uganda mencoba mencari cara yang adil untuk menegakkan keadilan.
Baca Juga: Mengerikan, 41 Orang Termasuk 38 Anak Kecil Dibunuh di Uganda Usai Pasukan Pemberontak Serbu Sekolah
Human Rights Watch menyebut persidangan Kwoyelo sebagai "kesempatan langka untuk memberikan keadilan bagi korban perang dua dekade antara pasukan Uganda dan LRA."
Dalam persidangan, jaksa menyatakan bahwa Kwoyelo memiliki pangkat kolonel di LRA dan bertanggung jawab atas serangan brutal terhadap warga sipil, banyak di antaranya sudah terpaksa mengungsi karena pemberontakan.
Sementara itu, pemimpin tertinggi LRA, Joseph Kony, masih diyakini bersembunyi di daerah terpencil di Afrika tengah.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) bahkan menawarkan hadiah sebesar 5 juta dolar bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi untuk menangkap Kony, yang juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Salah satu komandan Kony, Dominic Ongwen, pada 2021 dijatuhi hukuman 25 tahun penjara oleh ICC atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski banyak anggota LRA lainnya telah menerima amnesti dari pemerintah Uganda, Kwoyelo, yang ditangkap di Kongo, tidak mendapatkan pengampunan tersebut.
Pihak berwenang Uganda tidak pernah memberikan alasan yang jelas mengapa Kwoyelo tidak diampuni. Ada kekhawatiran dari aktivis hak asasi manusia bahwa penundaan panjang dalam pengadilannya melanggar hak Kwoyelo untuk mendapatkan keadilan.
Baca Juga: Kian Keras ke LGBTQ, Uganda Bakal Luncurkan UU yang Mengkriminasilasi Pelakunya
Persidangan Kwoyelo penuh kontroversi dan menyoroti betapa sulitnya menegakkan keadilan di masyarakat yang masih berusaha sembuh dari dampak perang.
Seperti dalam kasus Ongwen di ICC, Kwoyelo mengklaim bahwa dirinya diculik saat masih kecil untuk bergabung dengan LRA dan tidak bisa dianggap bertanggung jawab atas kejahatan kelompok itu.
Kwoyelo membantah semua tuduhan dan bersaksi bahwa hanya Kony yang bisa menjawab atas kejahatan yang dilakukan LRA. Ia juga menyatakan bahwa semua anggota LRA akan dihukum mati jika tidak mematuhi perintah Kony.
LRA, yang awalnya muncul di Uganda sebagai gerakan pemberontakan anti-pemerintah, dikenal karena merekrut anak laki-laki sebagai tentara dan menjadikan anak perempuan sebagai budak seks.
Pada puncak kekuatannya, kelompok ini sangat brutal dan selama bertahun-tahun berhasil menghindari upaya pasukan Uganda di Uganda utara.
Baca Juga: Interpol Tangkap 300 Anggota Geng Kejahatan Keuangan Afrika di 5 Benua
Beberapa pengamat mencatat bahwa komandan militer Uganda yang juga terlibat dalam pelanggaran selama pemberontakan LRA tidak pernah diadili.
LRA dituduh melakukan berbagai pembantaian yang sebagian besar menargetkan suku Acholi. Kony, yang juga berasal dari suku Acholi, mengklaim dirinya sebagai mesias dan menyatakan bahwa ia ingin memerintah Uganda sesuai Sepuluh Perintah Alkitab.
Setelah mendapat tekanan militer pada 2005, LRA terpaksa keluar dari Uganda dan menyebar ke berbagai wilayah di Afrika tengah. Sejak itu, kelompok ini semakin melemah dan laporan serangan LRA semakin jarang terjadi.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Associated Press