Komnas HAM menyatakan menemukan fakta bahwa Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menggunakan kekuatan berlebihan dalam peristiwa kekerasan di Desa Wadas pada 8 Februari lalu. Polda Jateng mengatakan temuan itu akan dijadikan "analisis dan evaluasi".
Tindakan kekerasan itu, menurut Komnas HAM, terjadi pada saat penangkapan warga Wadas yang menolak penambangan andesit oleh aparat kepolisian. Akibat tindakan kekerasan tersebut, sejumlah warga mengalami luka.
"Dari identifikasi pelaku, tindakan kekerasan tersebut mayoritas dilakukan oleh petugas berbaju sipil/preman pada saat proses penangkapan. Berdasarkan temuan Komnas HAM RI terdapat 67 orang warga yang ditangkap dan dibawa ke Polres Purworejo," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers, Kamis (24/2).
Anam juga menyebutkan berdasarkan keterangan pendamping di lapangan, jumlah aparat yang diturunkan Polda Jateng mencapai ribuan.
Informasi Ini berbeda dari keterangan Polda Jateng sebelumnya yang mengaku menurunkan kurang lebih dari 250 orang personel, yang terdiri dari 200 orang personel berseragam dan 50 orang personel berpakaian sipil/preman.
Komnas HAM meminta Polda Jateng melakukan evaluasi dan pemeriksaan, serta menjatuhkan sanksi kepada semua petugas yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga dan pelanggaran prosedur.
Humas Polda Jateng Iqbal Alqudusy mengatakan menghargai apa yang menjadi temuan dan rekomendasi Komnas HAM.
Namun dia tidak menjawab pertanyaan BBC News Indonesia mengenai penindakan aparatnya yang terlibat.
"Wadas sudah adem ayem kok," kata Iqbal melalui pesan singkat.
"Kita juga melakukan serangkaian bakti sosial, psikoedukasi/psikososial bagi anak-anak dan warga oleh konselor polda sudah berjalan," ujar Iqbal.
Baca juga:
Meski polisi menyebut suasana di Wadas sudah kondusif, tapi advokat pendamping Warga Desa Wadas Julian Duwi Prasetia mengatakan warga merasa tidak nyaman dengan kedatangan sejumlah "intel" dan TNI yang datang ke desa.
"Masih ada intel ke sana, tanya-tanya. Mereka bilang 'saya intel dari sini'. Mereka datangnya hampir setiap hari," kata Julian kepada BBC News Indonesia.
"Terus ada tawaran program dari TNI untuk membuat jamban, kemudian tawaran santri TNI juga ada. Warga keberatan juga dengan tawaran itu."
Berdasarkan pernyataan Iqbal, saat ini TNI-Polri bersama warga melakukan pembangunan 300 jamban, lima sumur bor, dan penyediaan tandon, untuk "meningkatkan sanitasi warga".
Terlepas dari pendekatan yang dilakukan aparat, warga menyatakan masih konsisten menolak penambangan batu andesit yang menjadi bagian dari proyek pembangunan Bendungan Bener.
Julian mengatakan saat ini warga masih berjaga dan mengawasi proyek tersebut. Sejauh ini, akses jalan ke lokasi pertambangan mulai dibangun. "Lokasi pertambangannya sendiri sampai sekarang masih utuh," Julian menjelaskan.
Selain terus berjaga-jaga, warga Wadas juga terus menyerukan penolakannya ke pemerintah terkait. Pada Kamis (24/2), warga Wadas menyerahkan surat keberatan dan protes kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) yang mengatakan penambangan andesit di Wadas boleh dilakukan tanpa memerlukan izin pertambangan.
"Kami keberatan. Izin yang seharusnya menjadi alat kontrol negara untuk melakukan pengawasan, evaluasi, dan kontrol, itu tidak ada," kata Julian mewakili warga Wadas.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.