Kompas TV cerita ramadan cerita

Kisah Unik Perbedaan Awal Puasa dan Lebaran di Masa Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan

Kompas.tv - 2 April 2022, 12:14 WIB
kisah-unik-perbedaan-awal-puasa-dan-lebaran-di-masa-sebelum-dan-sesudah-kemerdekaan
Foto ilustrasi. Tradisi menyambut puasa Ramadan yang dilakukan masyarakat Indonesia (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Iman Firdaus | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV- Perbedaan awal puasa dan hari Lebaran bukan berita baru. Di Indonesia, perbedaan itu sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, sebagian besar umat Islam sudah memakluminya.

Salah satu rekam jejak tentang perbedaan awal puasa dan Lebaran itu, dicatat oleh Mohamad Roem (16 Mei 1908-24 September 1983), wakil perdana menteri dan menteri luar negeri di era Orde Lama.

Sebagai sosok yang terbiasa menulis, Mohamad Roem mengisahkannya di Koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis yang kemudian dibukukan dalam Bunga Rampai dari Sejarah.

Diceritakannya, pada tahun 1930-an, ketika dia bertetangga dengan Kyai Haji Mas Mansyur di Jembatan Lima, Jakarta, Roem bertandang ke rumah tokoh Muhammadiyah itu tepat di hari Lebaran. Namun, Roem sendiri masih berpuasa kala itu.

Baca Juga: Mulai Berpuasa Hari Ini, Begini Pesan Menyentuh Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

"Selamat Hari Raya Idul Fitri," kata Roem kepada tuan rumah. 

"Terima kasih. Besok saya akan mengucapkan yang sama kepada saudara," kata Mas Mansyur.

Kemudian, iseng-iseng Roem bertanya kepada Mas Mansyur, apakah puasanya haram karena sudah 1 Syawal menurut kalender Muhammadiyah?

"Tidak begitu, kalau saya masih puasa maka haramlah puasa saya karena saya menganut paham hisab. Bagi saudara larangan itu berlaku besok," ujar Mas Mansyur yang dikenal ahli ilmu falak itu.

Roem mengaku menjadi terang mendengar penjelasan itu.

Kemudian memasuki tahun 1950-an atau setelah kemerdekaan, Roem masih mengisahkan urusan perbedaan awal puasa dan Lebaran ini.

Kali ini, dia berkisah tentang Mohammad Natsir, pendiri Partai Masyumi yang juga mantan perdana menteri. 

Beberapa hari sebelum puasa, Roem menelepon Natsir dan bertanya kapan mulai puasa.

"Lusa mulai puasa" kata Natsir. Roem pun memberitahukan hal ini kepada isterinya yang dijawab dengan cara bercanda.

"Dari bedug sampai ke Natsir," katanya. 

Maksudnya, dulu sang suami percaya kepada pukulan bedug sebagai awal puasa tapi sekarang menelepon Natsir. 

"Begitulah penulis di tahun 1950-an beralih dari pengikut rukyat menjadi pengikut hisab dan penulis tidak merasa murtad," kata Roem.

Baca Juga: Doa Ziarah Kubur Jelang Awal Puasa Ramadan, Lengkap dengan Tata Cara dan Adab

Menurutnya, perbedaan awal puasa dan Lebaran bukanlah hal baru. Dan setiap tahun pula hal itu menjadi bahan perbincangan untuk melakukan dialog. 

"Banyak yang bertanya mengapa umat Islam tidak bersatu? Tidak cocoknya ahli hisab dan rukyat dipandang sebagai salah satu contoh," katanya. 

Menjawab hal itu, Roem memberikan jawaban retoris.

"Kadang penulis ingin mendengar apakah golongan-golongan lain di Indonesia lebih bersatu?"

Dia juga mengutip salah seorang kawannya, murid dari profesor Eggen yang terkenal sebagai ahli dalam pembaharuan hukum di Sekolah Tinggi Hukum di zaman Belanda.

"Bersatu yang bagaimana? Yang begini tidak terjadi tiap tahun. Sering penetapan dengan dua cara itu sama hasilnya. Tapi kalaupun hasilnya berlainan, itu hanya hari yang ke-30. Dan kita sudah bersatu 29 hari lamanya," begitulah penjelasan sang kawan Mohammad Roem itu.

Menurut Roem, perbedaan itu sudah nyata sejak lama.

"Hanya kita yang bersalah memandang hal itu sebagai perpecahan," kata Roem, sosok dibalik perjanjian Roem-Van Roijen ini.


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x