Kompas TV ekonomi energi

Jalankan Transisi Energi, Pertamina Produksi Pertamax Green 95 sampai Avtur Ramah Lingkungan

Kompas.tv - 6 September 2023, 22:06 WIB
jalankan-transisi-energi-pertamina-produksi-pertamax-green-95-sampai-avtur-ramah-lingkungan
Ilustrasi. Dalam menjalankan transisi energi, ada dua kebijakan besar yang dilakukan Pertamina. Yakni membangun bisnis baru yang lebih hijau serta melakukan dekarbonisasi. (Sumber: Dok. Pertamina)
Penulis : Dina Karina | Editor : Fadhilah

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Agar target itu tercapai, pemerintah sudah menyiapkan peta jalan atau roadmap untuk merelisasikan NZE demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.

"Transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Mengutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (30/8/2023), net zero emission atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.

Untuk mencapainya, diperlukan sebuah transisi dari energi fosil yang digunakan sekarang, ke energi bersih (green energy) guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manuasia dengan keseimbangan alam.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan, adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia pada kurun waktu tertentu. Atau lebih sering dikenal dengan jejak karbon. Pengurangan jumlah karbon itu biasa disebut sebagai dekarbonisasi.

Dekarbonisasi jadi bagian tak terpisahkan dari transisi energi. Lantaran, jejak karbon yang dihasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan makhluk hidup di bumi. Seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrem dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.

Baca Juga: Tindak Lanjut B20 India, Pertamina Akan Kembangkan Bahan Bakar Berbasis Bioenergi

Nah, program NZE sendiri menjadi istilah populer setelah diadakannya Paris Climate Agreement Tahun 2015. Program tersebut bertujuan untuk menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Selanjutnya, dalam upaya mencapai program NZE, salah satu sektor yang menjadi fokus untuk dilakukan perubahan adalah sektor energi.

Berbagai negara telah mengeluarkan regulasi-regulasi baru dalam hal penyediaan energi yang disesuaikan dengan program NZE, termasuk di Indonesia. Yakni lewat Roadmap Net Zero Emission 2060 tadi.

Guna mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi net zero emissions, pemerintah menerapkan sejumlah prinsip utama, di antaranya adalah peningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri; dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

Diharapkan, dengan mengurangi jejak karbon dan berkomitmen dalam menjalankan prinsip utama di atas, Indonesia dapat mencapai kondisi net zero emissions pada tahun 2060.

"Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 sampai 2060 dengan beberapa startegi kunci," ujar Arifin dikutip dari situs esdm.go.id.

Peta Jalan Net Zero Emission 2060 Indonesia 

Arifin pun menguraikan tahapan pemerintah menuju capaian target nol emisi. Pada tahun 2021, pemerintah mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden terkait EBT dan retirement coal.

"Tidak ada tambahan PLTU baru kecuali yang sudah berkontrak maupun sudah dalam tahap konstruksi," ucapnya.

Baca Juga: Pertamina Tambah 10 Titik Penyaluran BBM Satu Harga di Papua

Tahun 2022, adanya Undang-Undang EBT dan pencanangan penggunaan kompor listrik untuk 2 juta rumah tangga per tahun. Selanjutnya, pembangunan interkoneksi, jaringan listrik pintar (smart grid) dan smart meter akan hadir pada 2024.

Lalu bauran EBT mencapai 23% yang didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di tahun 2025. Pada tahun 2027, pemerintah akan memberhentikan impor LPG.

Kemudian 42% EBT didominasi dari PLTS di 2030 dimana jaringan gas menyentuh 10 juta rumah tangga; penyaluran Bahan Bakar Gas (BBG) 300.000; pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kWh/kapita.

Selanjutnya pada 2031, semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini.

Pada 2035, sudah ada interkoneksi antar pulau mulai Commercial Operation Date (COD) dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kWh/kapita dan bauran EBT mencapai 57% dengan didominasi PLTS, Hydro dan Panas Bumi.

Tahun 2040, bauran EBT sudah mencapai 71% dan tidak ada PLT Diesel yang beroperasi, Lampu LED 70%, dan konsumsi listrik mencapai 2.847 kWh/kapita.

Lima tahun berikutnya, pemerintah mewacanakan akan ada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama mulai COD.

Info grafis peta jalan net zero emission Indonesia 2060. (Sumber: Dina Karina/Rafsyandhani)

"Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060," tutur Arifin.

Selanjutnya, bauran EBT diharapkan sudah mencapai 87% di 2050 dibarengi dengan konsumsi listrik 4.299 kWh/kapita. Terakhir, pada 2060 bauran EBT telah mencapai 100% yang didominasi PLTS dan Hydro.

Baca Juga: Makin Ekspansif, Pertamina Perkuat Kerjasama Strategis di Mozambik

Serta dibarengi dengan penyaluran jaringan gas sebanyak 23 juta sambungan rumah tangga, kompor listrik 52 juta rumah tangga, dan konsumsi listrik menyentuh angka 5.308 kWh/kapita.

Langkah Transisi Energi Pertamina

Target pemerintah mencapai NZE di 2060 dan roadmap yang sudah disusun sedemikian rupa, tentunya memerlukan partipasi dan dukungan semua pihak. Termasuk dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagai BUMN di sektor energi, Pertamina lah yang menjadi pemimpin di bidang transisi energi.

Pertamina juga sudah menyatakan komitmennya dalam mendukung target tersebut, dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s).

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, pandemi Covid-19 pada 2020 dan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina tahun 2022 telah memunculkan trilema energi dalam transisi energi. Trilema energi yang dimaksud adalah ketahanan energi, affordability, dan sustainability.  

Ia menjelaskan, sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin dalam perubahan menuju sustainability.

Namun, dengan menurunnya energy security, Eropa kembali mengimpor energi seperti batu bara dan akhirnya terjadi perubahan dalam bauran energi yang berdampak bagi dunia.

Oleh karena itu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kasus transisi energi di Eropa.

“Energi menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga transisi energi jangan mengorbankan keandalan pasokan energi dan menaikkan harga energi," kata Nicke seperti dikutip dari laman resmi Pertamina, Rabu (30/8).

Baca Juga: Hadapi Tantangan Energi Global, Pertamina Ambil Langkah Berikut

"Memastikan energy security & energy affordability, menjadi prioritas utama bagi Indonesia, sambil tetap melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi karbon untuk mencapai NZE di tahun 2060,” tambahnya.

Ia menilai, setiap negara memiliki urgensi yang berbeda dalam merespons energi trilema, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.

Menurut Nicke, semua negara di dunia termasuk di Asia Tenggara, pada tahun 2022 dihadapkan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan kembali ketahanan energi, inflasi, dan target energi bersih.

Nicke mengatakan Indonesia punya modal besar untuk menjalankan transisi energi.

“Indonesia memegang peran penting di panggung global dalam transisi energi karena memiliki kekayaan alam dan lokasi yang strategis. Dibutuhkan kolaborasi global untuk mendukung transisi energi bersih,” ujarnya.



Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x