Kompas TV ekonomi ekonomi dan bisnis

Jutaan GenZ Berstatus Menganggur, Anggota DPR Nilai Bisa jadi Ancaman Bonus Demografi

Kompas.tv - 23 Mei 2024, 06:50 WIB
jutaan-genz-berstatus-menganggur-anggota-dpr-nilai-bisa-jadi-ancaman-bonus-demografi
Pencari kerja mencari informasi lowongan kerja saat bursa kerja Mega Career Expo di Gedung Smesco Exhibition Hall, Jakarta, Kamis (22/2/2024). (Sumber: KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)
Penulis : Dina Karina | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data hampir 10 juta penduduk yang berusia 15-24 tahun (Gen Z) berstatus menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET).

Apabila dirincikan, anak muda yang paling banyak NEET justru ada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan.

Merespons hal itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengungkapkan, fenomena maraknya pengangguran di kalangan Gen Z menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

Kurniasih menyebut, bonus demografi jika tidak diiringi dengan hadirnya kesempatan kerja yang besar bagi generasi muda akan menciptakan bom waktu.

"Angka 10 juta pengangguran Gen Z sudah jadi tanda-tanda jika bonus demografis kita tidak terkelola dengan baik. Kita sudah menyadari hadirnya bonus demografi, maka di hulu pentingnya pendidikan skill dan di hilir pentingnya terbukanya luas kesempatan kerja," kata Kurniasih seperti dikutip dari laman resmi DPR, Rabu (22/5/2024).

Baca Juga: Viral Antrean Pelamar Kerja di Warung Seblak hingga ke Jalan, Gen Z Makin Susah Cari Kerja

Anggota Fraksi PKS DPR itu mengungkapkan, Gen Z semakin terhimpit karena dari sisi pendidikan tinggi kini semakin mahal dengan adanya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Sementara dari kesempatan kerja mensyaratkan sudah berpengalaman dan adanya batas usia.

"Generasi muda hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Ada treatment khusus, terutama dari sisi pendidikan maupun dunia kerja. Harus dipermudah hadirnya lembaga pendidikan dengan skill yang saat ini sedang dibutuhkan, plus berikanlah kesempatan seluas-luasnya dari pemberi kerja," ujarnya.

Kurniasih juga menyoroti tren angkatan kerja justru didominasi oleh pekerja informal.

Hal ini membuktikan jika adanya angkatan pencari kerja yang membludak namun kesempatan kerja di sektor formal tidak memadai.

"Baru saja viral pencari kerja untuk sebuah warung makan biasa. Antreannya membludak seperti halnya antrean kerja di pabrik. Ini memprihatinkan karena banyak anak kerja ini tak dapat kesempatan kerja formal, sehingga lowongan apapun akan dijalani termasuk sektor informal. Padahal perlindungan pekerja di sektor informal masih sangat lemah," tuturnya.

Baca Juga: Mantan KSAU jadi Komisaris Utama Garuda, Ini Susunan Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Terbaru

Dari hasil olah data Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap Survei Angkatan Kerja Nasional, BPS menyebutkan, masih ada pencari kerja dari kelompok generasi Z yang pendidikan tertingginya SMP. Termasuk yang tidak tamat SD dan lulus SD.

Jumlahnya pada 2022 sebesar 15,2 persen dari seluruh pencari kerja yang lahir pada periode 1997-2012.

Proporsi pencari kerja generasi Z dengan latar belakang pendidikan tertinggi SMP tersebut bahkan lebih besar ketimbang gen Z pencari kerja dari lulusan perguruan tinggi (12,1 persen).

Hanya gen Z lulusan SMA dan SMK yang jumlahnya lebih besar, yakni 72,5 persen dari total pengangguran pencari kerja berusia gen Z.

Generasi Z lulusan SD dan SMP ini menyumbang angkatan kerja Indonesia yang memang masih didominasi oleh lulusan sekolah menengah pertama ke bawah.

Yakni 55,4 persen pada tahun 2022. Artinya, ada 79,6 juta orang berpendidikan paling tinggi SMP dari total angkatan kerja 143,7 juta orang.

Sebagai perbandingan, lulusan SMK menyumbang sekitar 24 persen dari total fresh graduate yang mendapat pekerjaan formal.

Adapun lulusan perguruan tinggi menyumbang proporsi terbesar, 54,3 persen.

Baca Juga: BPJS Watch Sebut Pasien Bisa Sulit Dapat Kamar saat KRIS Berlaku, Ada Oknum RS yang Membatasi

Selain lulusan SMP/SD yang mendominasi, struktur angkatan kerja juga diisi oleh lulusan SMA/sederajat (32,4 persen) dan lulusan diploma IV dan S-1 (12,1 persen).

“Jika hanya berfokus pada pengangguran pencari kerja, orang dengan tingkat pendidikan tertinggi SMP juga menyumbang proporsi terbesar kedua di bawah lulusan SMA dan SMK,” tulis Harian Kompas dalam laporannya, dikutip dari Kompas.id pada Rabu (22/5/2024).

Dari 5,1 juta orang pengangguran pencari kerja pada 2022, sebanyak 1,1 juta orang atau 21,5 persennya hanya memegang ijazah paling tinggi SMP.

Ini lebih tinggi ketimbang lulusan universitas yang berjumlah 735.426 pengangguran pencari kerja atau berproporsi 14,4 persen.

Latar belakang pendidikan yang paling banyak menyumbang pengangguran pencari kerja adalah tingkat SMA dan SMK.

Ada 3,3 juta orang atau 63,8 persen dari seluruh pengangguran pencari kerja berpendidikan tertinggi SMA/SMK.

Baca Juga: Baru 30 Persen RS Swasta yang Siap Terapkan KRIS, Asosiasi: Kami Senang kalau Ada Insentif

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, industri membutuhkan tenaga kerja yang memang benar-benar siap untuk bekerja dengan standar yang memadai.

Untuk meningkatkan kesiapan tenaga kerja Indonesia, pemerintah pusat ataupun daerah harus menjalin komunikasi yang baik dengan para calon investor.

Ini untuk mengetahui dengan baik tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan.

”Kalau tidak ada koordinasi yang baik, ketika (investasi) masuk dan SDM lokal ini belum siap maka (investor) akan mencari lokasi yang lain. Jadi pendidikan vokasi ini persiapannya harus jauh sebelumnya, bukan menjelang investasi masuk. Ketika sudah siap SDM-nya, maka ketika pabrik itu beroperasi, sudah bisa langsung terserap,” terang Faisal.

Di sisi lain, penyempitan peluang kerja di sektor formal dan angkatan kerja yang masih didominasi lulusan SMA/SMK dan SMP/SD membuat pemerintah lebih memilih untuk mendorong pemanfaatan peluang pasar kerja luar negeri.

Baca Juga: Waspada Masuk Indonesia! Varian Baru Covid-19 Ada di Singapura, Kemenkes: Perjalanan Belum Dibatasi

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menyebut, lulusan SMP misalnya, bisa ikut bekerja ke luar negeri untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja specified skill worker (SSW).

Pekerjaan yang akan dilakukan tidak butuh keterampilan tinggi, melainkan keterampilan khusus sesuai jenis pekerjaannya.

Keterampilan teknis yang spesifik dan kemampuan berbahasa asing calon pekerja migran akan disiapkan lewat balai latihan kerja milik pemerintah ataupun swasta.

Dalam hal gaji dan perlindungan tenaga kerja, pekerja migran SSW ini jauh di atas pekerja migran sektor domestik.

Seperti pekerja di bidang pengolahan makanan, perawat lansia, pengemudi, dan tata graha perhotelan.

Mereka yang pulang ke Tanah Air nantinya bisa diajarkan untuk mengapitalisasi networking dan pengalaman kerjanya.

”Gaji mereka per bulan bisa sampai Rp 20 juta-Rp 25 juta. Kalau kita bisa kirim masif, pendapatan masyarakat yang semula dasar bisa naik kelas, minimal ke menengah,” ungkap Anwar.



Sumber : Kompas.id



BERITA LAINNYA



Close Ads x