JAKARTA, KOMPAS.TV- Aktivis buruh nasional, Mirah Sumirat, menilai kondisi buruh di Indonesia masih memprihatinkan di usia republik yang ke-79 tahun ini. Ia memaparkan, pekerja di tanah air mulai terdampak penetapan upah murah sejak tahun 2015 lewat PP 78/2015, tentang Pengupahan.
PP tersebut menghilangkan perhitungan komponen Hidup Layak (KHL) serta “meniadakan” fungsi Dewan Pengupahan. Hal itu mengakibatkan "Politik Upah Murah" muncul dan ditambah lagi UU Omnibuslaw Cipta Kerja.
"Belum lagi usai derita upah murah mendera, kondisi ekonomi pekerja/buruh Indonesia diperburuk dengan tingginya harga pangan dan harga barang kebutuhan pokok hampir 20% dari tahun 2022 sudah dirasakan sampai saat ini," kata Mirah dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat (16/8/2024).
"Dampaknya daya beli turun, dimana upah tidak bisa mengimbangi harga pangan dan kebutuhan dasar yang cenderung tidak terkendali," tambahnya.
Baca Juga: Puan Bicara Pemilu Berkualitas: Apakah Rakyat Dapat Memilih Tanpa Rasa Takut dan Paksaan?
Turunnya daya beli membuat permintaan pasar anjlok, sehingga barang-barang yang diproduksi perusahaan tidak lalu. Alhasil, banyak perusahaan melakukan PHK massal.
Kondisi dunia usaha juga tak kalah susah, lanjut Mirah, karena serbuan barang impor. PHK juga banyak disebabkan bergesernya model industri dari konvensional menjadi digitalisasi/otomatisasi.
Di saat yang bersamaan, anak-anak buruh dihadapkan mahalnya biaya sekolah hingga Uang Kuliah Tunggal (UKT) di level perguruan tinggi.
Menurut Mirah, hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa melanjutkan kuliah. Hal ini menyebabkan nasib hidup anak-anak pekerja/buruh semakin terdorong ke sisi jurang kemiskinan.
Baca Juga: Sampaikan Pidato Kenegaraan, Jokowi: Mohon Maaf untuk Setiap Hati yang Kecewa
"Padahal kita sama - sama tahu bahwa pendidikan itu dijamin oleh negara sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa," ujarnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.