Israel juga menekankan, perundingan harus disertai dengan ancaman militer yang 'kredibel' demi memastikan Iran tidak menunda tanpa batas waktu.
Pada tahun 2018, Presiden Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat (AS) dari perjanjian itu. Ini meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan memicu serangkaian serangan dan insiden. Penarikan itu menyebabkan kesepakatan menjadi berantakan dengan cepat.
Pembicaraan di Wina mengenai kesepakatan nuklir Iran yang berantakan telah mandek sejak April.
Sejak kesepakatan itu gagal, Iran menjalankan sentrifugal canggih, dan memiliki persediaan uranium yang diperkaya, yang jumlahnya bertambah dengan pesat.
Baca Juga: Pengawas Nuklir PBB Ungkap Iran Berencana Meningkatkan Pengayaan Uranium
Para pemimpin Israel mengeklaim, Iran hanya tinggal hitungan beberapa minggu lagi untuk dapat mengumpulkan cukup uranium yang diperkaya untuk menghasilkan senjata nuklir. Meskipun, komponen lain dari bom, diyakini masih membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun lagi.
Iran menegaskan programnya adalah untuk tujuan damai, meskipun para ahli PBB dan badan-badan intelijen Barat menyebut Iran memiliki program nuklir militer terorganisir sampai tahun 2003.
Israel dan UEA setuju untuk mencairkan hubungan di bawah perjanjian yang ditengahi AS yang dikenal sebagai "Abraham Accord" atau Kesepakatan Abraham yang melihat kesepakatan serupa dicapai dengan Bahrain, Maroko dan Sudan.
Sejak itu, Israel dan UEA memperdalam hubungan di bidang pariwisata dan perdagangan. Ini membuat cemas orang-orang Palestina yang lama mengandalkan dukungan Arab untuk dijadikan sebagai pengaruh melawan Israel.
Perjalanan Bennett dilakukan saat Israel berada di puncak krisis politik lainnya. Anggota koalisinya yang rapuh mengancam akan mundur, kecuali pemerintah dapat mengesahkan undang-undang tentang status hukum para pemukim Tepi Baratnya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.