Kompas TV kolom opini

Baliho Politik: Mengupas Bahaya dan Menggugat Estetika Komunikasi

Kompas.tv - 31 Januari 2024, 08:05 WIB
baliho-politik-mengupas-bahaya-dan-menggugat-estetika-komunikasi
Jejeran baliho kampanye Pemilu 2024 di Jalan Hertasning, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/12/2023). (Sumber: Reny Sri Ayu Arman/Kompas.id)

Limbah yang dihasilkan dari baliho sebenarnya masuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berasal dari sektor perdagangan dan jasa. Pada tahun 2021, berdasarkan data Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) KLHK, Indonesia menciptakan timbulan limbah B3 sebanyak 60 juta ton. Sumber limbah B3 ini sebagian besar berasal dari sektor manufaktur, termasuk industri baliho di Indonesia.

Untuk mengelola limbah B3, termasuk limbah baliho, pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan, seperti Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.


Di Indonesia, penggunaan baliho politik umumnya diatur oleh regulasi daerah dan undang-undang yang berlaku. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengontrol ukuran dan lokasi baliho, pelaksanaannya seringkali tidak konsisten di seluruh wilayah. Ini disebabkan oleh tekanan politik dan kemudahan dalam memanfaatkan celah-celah peraturan. Konsekuensinya, terjadi ketidaktersediaan ruang publik yang memadai untuk kepentingan umum dan pribadi.

Indonesia sebaiknya mengambil contoh dari beberapa negara di Eropa dan Asia yang telah menerapkan kebijakan lebih ketat terkait penggunaan baliho politik. Norwegia dan Belanda, sebagai contoh, telah membatasi jumlah baliho dan menetapkan jarak antara satu baliho dengan yang lainnya. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah untuk mengurangi polusi visual dan melindungi estetika lingkungan. Menurut studi, polusi visual dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental, kualitas hidup, dan persepsi sosial masyarakat. Selain itu, baliho politik juga dapat mengganggu keselamatan pengguna jalan dan merusak pemandangan alam.

Singapura, meskipun memiliki keterbatasan ruang, berhasil menerapkan kebijakan yang membatasi jumlah baliho politik. Pemilihan lokasi yang strategis dan pengawasan ketat terhadap penggunaan baliho menjadi bagian dari inisiatif untuk menjaga keindahan kota tanpa mengorbankan esensi kampanye politik. Di Singapura, baliho politik hanya boleh dipasang di tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh otoritas, seperti halte bus, lampu lalu lintas, dan pagar. Baliho politik juga harus memenuhi standar ukuran, warna, dan materi yang ditentukan oleh undang-undang.

Dengan demikian, Singapura dapat menghindari kekacauan visual yang disebabkan oleh baliho politik yang berlebihan.

Pentingnya melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan juga tidak boleh diabaikan. Calon-calon perlu memahami bahwa kebijakan terhadap alam sejalan dengan kebijakan terhadap manusia. Calon yang tidak memperhatikan dampak lingkungan menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap keberlanjutan planet ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat agar mereka lebih kritis terhadap tindakan calon-calon politik terkait lingkungan.

Dalam konteks keseimbangan antara alam dan manusia, pentingnya melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan merupakan aspek yang tidak boleh diabaikan. Kesadaran akan lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga menjadi elemen integral dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan calon pemimpin.

Calon-calon politik perlu memahami bahwa kebijakan terhadap alam sejalan dengan kebijakan terhadap manusia. Tanpa keseimbangan yang tepat, dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan politik dapat berimplikasi langsung pada kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, calon yang tidak memberikan perhatian memadai terhadap dampak lingkungan menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap keberlanjutan planet ini.

Oleh karena itu, diperlukan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat sebagai langkah krusial dalam menjaga keseimbangan ini. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam memahami hubungan yang kompleks antara kebijakan politik, lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Pendidikan yang mendalam tentang dampak kebijakan terhadap alam dan manusia menjadi fondasi untuk menciptakan pemilih yang lebih kritis dan peduli terhadap isu lingkungan.

Pendidikan lingkungan bukan hanya mengenai ekosistem dan flora-fauna, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan politik dapat membentuk realitas sehari-hari masyarakat. Masyarakat yang sadar lingkungan akan lebih cenderung mendukung calon-calon yang memiliki visi dan komitmen terhadap keberlanjutan, sehingga menciptakan suatu keseimbangan yang positif antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.

Menumbuhkan Pemimpin Bertanggung Jawab dan Berkelanjutan

Dengan melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan, dapat dihasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya memahami kompleksitas interaksi antara alam dan manusia tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampak kebijakan mereka terhadap kedua aspek tersebut. Dengan demikian, tercipta keseimbangan yang berkelanjutan antara keberlanjutan alam dan kehidupan manusia.

Hukuman publik dapat menjadi alat kontrol yang efektif bagi calon yang tidak memprioritaskan perlindungan lingkungan. Dengan demikian, regulasi yang ketat, dukungan masyarakat, dan sanksi publik dapat bersama-sama menciptakan lingkungan politik yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Dalam refleksi filosofis terhadap hubungan antara alam dan manusia, fenomena baliho politik menjadi cermin dari dinamika kompleks di dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia seringkali menempatkan dirinya di pusat panggung eksistensi, kadang-kadang melupakan bahwa ia hanyalah satu bagian kecil dari keberagaman alam. Pemilihan jalur komunikasi, seperti penggunaan baliho politik, mencerminkan pandangan filosofis terhadap hakikat hubungan antara manusia dan lingkungannya.

Tawaran alternatifnya muncul dari pemikiran untuk memahami bahwa manusia seharusnya bersinergi dengan alam, bukan sebagai penguasanya. Pemilihan komunikasi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti kampanye digital dengan fokus pada isu-isu lingkungan, dapat menjadi alternatif yang lebih sejalan dengan pemahaman akan peran manusia sebagai bagian dari alam.

Pertimbangkan juga penetrasi internet dalam proporsi populasi Indonesia. Menurut laporan terbaru dari We Are Social dan Meltwater bertajuk "Digital 2023", Jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 mencapai 212,9 juta, naik sekitar 10 juta pengguna atau 5 persen dari tahun sebelumnya. Dengan total populasi Indonesia yang mencapai 276,4 juta jiwa, penetrasi internet saat ini mencapai 77 persen. Meskipun peningkatan ini menunjukkan aksesibilitas yang lebih besar terhadap informasi, sekitar 23 persen atau sekitar 63,51 juta jiwa masih belum terhubung dengan jaringan internet.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa pertumbuhan akses internet juga diiringi dengan peningkatan literasi digital dan kesadaran akan isu-isu penting, termasuk penyebaran disinformasi. Dalam konteks politik, kampanye yang memanfaatkan media digital harus mempertimbangkan segmen demografi pengguna internet, mengingat perbedaan aksesibilitas dan tingkat partisipasi di antara kelompok-kelompok tersebut.

Baliho politik tidak hanya menjadi simbol pertarungan ideologi politik, tetapi juga menciptakan narasi filosofis tentang bagaimana manusia melibatkan dirinya dalam ruang alam. Baliho politik yang dipasang dengan berlebihan dan menggunakan bahan-bahan sulit terurai menciptakan pertanyaan filosofis tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungannya. Apakah manusia, sebagai makhluk berakal, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan diri sendiri, tetapi juga melibatkan dirinya sebagai bagian integral dari ekosistem yang lebih besar?

Filosofi lingkungan sering mengajukan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan alam tanpa mengorbankan keberlanjutan dan keanekaragaman yang mengelilinginya. Dalam konteks ini, baliho politik yang menciptakan polusi visual dan lingkungan menjadi representasi nyata dari bagaimana manusia, dalam usahanya untuk menyuarakan visi politiknya, dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada keindahan alam dan keberlanjutan ekosistem.

Pertimbangan filosofis ini mengajak kita untuk merenung tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat lebih bijak dalam berinteraksi dengan lingkungan. Baliho politik yang berlebihan dan merugikan secara ekologis dapat dianggap sebagai simbol kekurangan dalam pemahaman filosofis manusia terhadap peranannya sebagai bagian dari alam. Oleh karena itu, dalam merancang strategi kampanye politik, pertimbangan filosofis yang lebih mendalam tentang harmoni antara manusia dan alam perlu diintegrasikan agar tercipta lingkungan yang lebih berkelanjutan dan estetis.


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x