Kompas TV kolom opini

Baliho Politik: Mengupas Bahaya dan Menggugat Estetika Komunikasi

Kompas.tv - 31 Januari 2024, 08:05 WIB
baliho-politik-mengupas-bahaya-dan-menggugat-estetika-komunikasi
Jejeran baliho kampanye Pemilu 2024 di Jalan Hertasning, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/12/2023). (Sumber: Reny Sri Ayu Arman/Kompas.id)

Oleh Abie Besman
Jurnalis Senior Kompas TV – Peneliti dan Pengajar Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Sebagai panggung utama dalam proses demokrasi, kampanye politik menjadi arena di mana para calon bersaing untuk mengomunikasikan visi dan misi mereka kepada masyarakat. Sayangnya, dalam usaha untuk menarik perhatian publik, sering kali calon politik memilih menggunakan metode komunikasi jadul, seperti baliho, yang tidak hanya berdampak negatif pada lingkungan, tetapi juga menimbulkan risiko serius terhadap keselamatan pengguna jalan, termasuk pengendara kendaraan dan pejalan kaki.

Penggunaan bahan-bahan tertentu pada baliho politik juga memiliki dampak yang mendalam terhadap ekosistem dan keseimbangan lingkungan. Pilihan bahan seperti vinyl dan plastik tidak hanya merugikan secara visual tetapi juga menyebabkan konsekuensi serius terhadap keberlanjutan lingkungan.

Bahan plastik yang umumnya digunakan dalam pembuatan baliho sulit terurai, menciptakan risiko pencemaran lingkungan jangka panjang. Proses dekomposisi yang lambat atau bahkan tidak ada pada beberapa bahan tersebut dapat menyebabkan akumulasi sampah plastik yang tidak ramah lingkungan. Peningkatan jumlah sampah plastik ini memberikan kontribusi yang signifikan pada masalah global limbah plastik, memperburuk kerentanan ekosistem terhadap dampak lingkungan yang merugikan.

Baca Juga: Mengenal Figur di Balik Jaket Denim Presiden - OPINI

Selain itu, bahan-bahan sulit terurai ini dapat menciptakan risiko pencemaran tanah dan air. Molekul-molekul mikroplastik yang dilepaskan selama dekomposisi dapat meresap ke dalam tanah, merugikan organisme tanah dan sistem ekologi yang kompleks. Ketika mencapai perairan, mikroplastik juga dapat menyebabkan pencemaran air, memengaruhi kehidupan akuatik dan menyebabkan dampak berantai pada rantai makanan.

Dampak negatif ini menciptakan tekanan serius terhadap keseimbangan lingkungan. Kehadiran bahan-bahan sulit terurai dalam baliho politik mengancam keberlanjutan ekosistem dan mengintensifkan tantangan lingkungan yang sudah ada.

Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang risiko pencemaran jangka panjang akibat bahan-bahan tertentu perlu mendorong perubahan dalam praktik pembuatan baliho politik menuju alternatif yang lebih ramah lingkungan. Hal ini juga dapat menjadi dasar bagi regulasi yang lebih ketat terkait bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan baliho politik demi melindungi ekosistem dan keseimbangan lingkungan secara keseluruhan.

Baliho politik yang berukuran besar dengan desain mencolok juga dapat menciptakan polusi visual di lingkungan sekitarnya. Jumlah dan desain baliho yang berlebihan dapat merusak keindahan visual kota atau wilayah tertentu, meskipun hanya dalam rentang waktu tertentu. Pentingnya menyadari dampak ini terletak pada fakta bahwa polusi visual, bahkan jika hanya bersifat sementara, dapat mengganggu keharmonisan lingkungan. Meskipun baliho mungkin hanya dipasang untuk periode kampanye politik, dampak negatifnya terhadap estetika dan keindahan lingkungan bisa terasa dalam waktu yang relatif singkat.

Dampak Tragis Baliho Politik dan Pentingnya Kampanye Aman

Penggunaan metode komunikasi jadul melalui baliho politik tidak hanya menimbulkan permasalahan visual tetapi juga memiliki potensi untuk mengancam keselamatan para pengguna jalan.

Pemasangan baliho secara sembarangan, terutama di sekitar persimpangan atau jalan raya, dapat menghambat kemampuan pengemudi untuk melihat dengan jelas. Hal ini dapat meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas, karena pengemudi mungkin mengalami kesulitan melihat arus lalu lintas yang datang atau petunjuk arah jalan.

Dalam keadaan yang lebih serius, instalasi baliho yang tidak tepat dapat mengakibatkan cedera atau bahkan kematian bagi para pengguna jalan dan pejalan kaki.

Pentingnya memilih metode kampanye yang aman dan bertanggung jawab terungkap dalam serangkaian kejadian tragis yang terjadi akibat kecelakaan yang melibatkan baliho.

Baliho caleg PSI yang jatuh di Jalan KRT Radjiman Widyoningrat, Jatinegara, Cakung, Jakarta Timur, Senin (22/1/2024) dan menimpa pengendara sepeda motor. (Sumber: Kompas.com/Nabilla Ramadhian)

Pada 26 Desember 2023, baliho salah seorang caleg jatuh dan menimpa pengendara sepeda motor di Kembangan, Jakarta Barat. Seiring waktu, insiden serupa terulang pada 30 Desember 2023, ketika baliho caleg kembali jatuh dan menyebabkan kecelakaan di Tambora, Jakarta Barat. Kasus ini berakhir damai setelah pengurus partai bersangkutan bertanggung jawab kepada korban.

Kejadian yang paling baru terjadi pada 16 Januari 2024, di mana baliho kampanye capres dan caleg jatuh tertiup angin dan mengenai pengendara sepeda motor seorang siswi SMA di Kebumen, Jawa Tengah. Dari kejadian ini, satu korban meninggal dunia di lokasi dan korban lainnya mengalami luka ringan.

Polisi di TKP tewasnya pelajar SMK di Kebumen usai tertimpa baliho caleg yang roboh di Alang-alang Amba, Desa Sidomukti, Kecamatan Karanganyar, Kebumen, Rabu (11/1/2024). (Sumber: Dok. Polres Kebumen)

Serangkaian insiden ini menjadi bukti bahwa penggunaan baliho sebagai sarana kampanye politik dapat berdampak buruk, bahkan fatal, bagi keselamatan masyarakat.

Para calon seharusnya dapat beralih ke strategi kampanye yang lebih ramah lingkungan dan aman. Penggunaan media digital dan sosial, seperti iklan online dan platform media sosial, dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan dan efisien tanpa menciptakan polusi visual yang merugikan. Selain itu, partisipasi dalam debat publik, forum, dan pertemuan komunitas dapat membantu calon untuk lebih langsung berinteraksi dengan pemilih tanpa mengorbankan lingkungan dan keselamatan.

Regulasi yang Ketat dan Hukuman Publik

Regulasi yang ketat dalam penggunaan baliho politik merupakan hal yang sangat penting dalam konteks kampanye politik. Tanpa pengawasan yang memadai, calon-calon cenderung menggunakan strategi kampanye yang tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan pengguna jalan. Oleh karena itu, penerapan regulasi yang ketat dapat menjadi solusi efektif untuk menciptakan standar yang jelas terkait lokasi pemasangan, jumlah baliho, dan jenis bahan yang dapat digunakan.

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019, produsen memiliki kewajiban untuk mengurangi produksi sampah, termasuk yang berasal dari bahan plastik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2022, Indonesia memegang peringkat sebagai negara dengan tingkat produksi limbah plastik tertinggi di dunia, mencapai 18% dari total sampah sebesar 69,2 juta ton. Fakta ini seharusnya menjadi dasar untuk mendorong kebijakan yang lebih ketat terkait penggunaan bahan ramah lingkungan dan penataan baliho.

Baca Juga: Busana sebagai Medium Komunikasi Politik

Limbah yang dihasilkan dari baliho sebenarnya masuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berasal dari sektor perdagangan dan jasa. Pada tahun 2021, berdasarkan data Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) KLHK, Indonesia menciptakan timbulan limbah B3 sebanyak 60 juta ton. Sumber limbah B3 ini sebagian besar berasal dari sektor manufaktur, termasuk industri baliho di Indonesia.

Untuk mengelola limbah B3, termasuk limbah baliho, pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan, seperti Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.


Di Indonesia, penggunaan baliho politik umumnya diatur oleh regulasi daerah dan undang-undang yang berlaku. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengontrol ukuran dan lokasi baliho, pelaksanaannya seringkali tidak konsisten di seluruh wilayah. Ini disebabkan oleh tekanan politik dan kemudahan dalam memanfaatkan celah-celah peraturan. Konsekuensinya, terjadi ketidaktersediaan ruang publik yang memadai untuk kepentingan umum dan pribadi.

Indonesia sebaiknya mengambil contoh dari beberapa negara di Eropa dan Asia yang telah menerapkan kebijakan lebih ketat terkait penggunaan baliho politik. Norwegia dan Belanda, sebagai contoh, telah membatasi jumlah baliho dan menetapkan jarak antara satu baliho dengan yang lainnya. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah untuk mengurangi polusi visual dan melindungi estetika lingkungan. Menurut studi, polusi visual dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental, kualitas hidup, dan persepsi sosial masyarakat. Selain itu, baliho politik juga dapat mengganggu keselamatan pengguna jalan dan merusak pemandangan alam.

Singapura, meskipun memiliki keterbatasan ruang, berhasil menerapkan kebijakan yang membatasi jumlah baliho politik. Pemilihan lokasi yang strategis dan pengawasan ketat terhadap penggunaan baliho menjadi bagian dari inisiatif untuk menjaga keindahan kota tanpa mengorbankan esensi kampanye politik. Di Singapura, baliho politik hanya boleh dipasang di tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh otoritas, seperti halte bus, lampu lalu lintas, dan pagar. Baliho politik juga harus memenuhi standar ukuran, warna, dan materi yang ditentukan oleh undang-undang.

Dengan demikian, Singapura dapat menghindari kekacauan visual yang disebabkan oleh baliho politik yang berlebihan.

Pentingnya melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan juga tidak boleh diabaikan. Calon-calon perlu memahami bahwa kebijakan terhadap alam sejalan dengan kebijakan terhadap manusia. Calon yang tidak memperhatikan dampak lingkungan menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap keberlanjutan planet ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat agar mereka lebih kritis terhadap tindakan calon-calon politik terkait lingkungan.

Dalam konteks keseimbangan antara alam dan manusia, pentingnya melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan merupakan aspek yang tidak boleh diabaikan. Kesadaran akan lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga menjadi elemen integral dalam proses politik, terutama dalam konteks pemilihan calon pemimpin.

Calon-calon politik perlu memahami bahwa kebijakan terhadap alam sejalan dengan kebijakan terhadap manusia. Tanpa keseimbangan yang tepat, dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan politik dapat berimplikasi langsung pada kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, calon yang tidak memberikan perhatian memadai terhadap dampak lingkungan menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap keberlanjutan planet ini.

Oleh karena itu, diperlukan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat sebagai langkah krusial dalam menjaga keseimbangan ini. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam memahami hubungan yang kompleks antara kebijakan politik, lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Pendidikan yang mendalam tentang dampak kebijakan terhadap alam dan manusia menjadi fondasi untuk menciptakan pemilih yang lebih kritis dan peduli terhadap isu lingkungan.

Pendidikan lingkungan bukan hanya mengenai ekosistem dan flora-fauna, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan politik dapat membentuk realitas sehari-hari masyarakat. Masyarakat yang sadar lingkungan akan lebih cenderung mendukung calon-calon yang memiliki visi dan komitmen terhadap keberlanjutan, sehingga menciptakan suatu keseimbangan yang positif antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.

Menumbuhkan Pemimpin Bertanggung Jawab dan Berkelanjutan

Dengan melibatkan masyarakat dalam kesadaran lingkungan, dapat dihasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya memahami kompleksitas interaksi antara alam dan manusia tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampak kebijakan mereka terhadap kedua aspek tersebut. Dengan demikian, tercipta keseimbangan yang berkelanjutan antara keberlanjutan alam dan kehidupan manusia.

Hukuman publik dapat menjadi alat kontrol yang efektif bagi calon yang tidak memprioritaskan perlindungan lingkungan. Dengan demikian, regulasi yang ketat, dukungan masyarakat, dan sanksi publik dapat bersama-sama menciptakan lingkungan politik yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Dalam refleksi filosofis terhadap hubungan antara alam dan manusia, fenomena baliho politik menjadi cermin dari dinamika kompleks di dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia seringkali menempatkan dirinya di pusat panggung eksistensi, kadang-kadang melupakan bahwa ia hanyalah satu bagian kecil dari keberagaman alam. Pemilihan jalur komunikasi, seperti penggunaan baliho politik, mencerminkan pandangan filosofis terhadap hakikat hubungan antara manusia dan lingkungannya.

Tawaran alternatifnya muncul dari pemikiran untuk memahami bahwa manusia seharusnya bersinergi dengan alam, bukan sebagai penguasanya. Pemilihan komunikasi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti kampanye digital dengan fokus pada isu-isu lingkungan, dapat menjadi alternatif yang lebih sejalan dengan pemahaman akan peran manusia sebagai bagian dari alam.

Pertimbangkan juga penetrasi internet dalam proporsi populasi Indonesia. Menurut laporan terbaru dari We Are Social dan Meltwater bertajuk "Digital 2023", Jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 mencapai 212,9 juta, naik sekitar 10 juta pengguna atau 5 persen dari tahun sebelumnya. Dengan total populasi Indonesia yang mencapai 276,4 juta jiwa, penetrasi internet saat ini mencapai 77 persen. Meskipun peningkatan ini menunjukkan aksesibilitas yang lebih besar terhadap informasi, sekitar 23 persen atau sekitar 63,51 juta jiwa masih belum terhubung dengan jaringan internet.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa pertumbuhan akses internet juga diiringi dengan peningkatan literasi digital dan kesadaran akan isu-isu penting, termasuk penyebaran disinformasi. Dalam konteks politik, kampanye yang memanfaatkan media digital harus mempertimbangkan segmen demografi pengguna internet, mengingat perbedaan aksesibilitas dan tingkat partisipasi di antara kelompok-kelompok tersebut.

Baliho politik tidak hanya menjadi simbol pertarungan ideologi politik, tetapi juga menciptakan narasi filosofis tentang bagaimana manusia melibatkan dirinya dalam ruang alam. Baliho politik yang dipasang dengan berlebihan dan menggunakan bahan-bahan sulit terurai menciptakan pertanyaan filosofis tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungannya. Apakah manusia, sebagai makhluk berakal, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan diri sendiri, tetapi juga melibatkan dirinya sebagai bagian integral dari ekosistem yang lebih besar?

Filosofi lingkungan sering mengajukan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan alam tanpa mengorbankan keberlanjutan dan keanekaragaman yang mengelilinginya. Dalam konteks ini, baliho politik yang menciptakan polusi visual dan lingkungan menjadi representasi nyata dari bagaimana manusia, dalam usahanya untuk menyuarakan visi politiknya, dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada keindahan alam dan keberlanjutan ekosistem.

Pertimbangan filosofis ini mengajak kita untuk merenung tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat lebih bijak dalam berinteraksi dengan lingkungan. Baliho politik yang berlebihan dan merugikan secara ekologis dapat dianggap sebagai simbol kekurangan dalam pemahaman filosofis manusia terhadap peranannya sebagai bagian dari alam. Oleh karena itu, dalam merancang strategi kampanye politik, pertimbangan filosofis yang lebih mendalam tentang harmoni antara manusia dan alam perlu diintegrasikan agar tercipta lingkungan yang lebih berkelanjutan dan estetis.


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x