Kompas TV lifestyle tren

Benarkah Slow Living Hanya Bisa Dilakukan Orang Kaya dan Pemalas? Simak Penjelasannya

Kompas.tv - 27 Juli 2023, 17:31 WIB
benarkah-slow-living-hanya-bisa-dilakukan-orang-kaya-dan-pemalas-simak-penjelasannya
Ilustrasi. Sebagian orang menilai gaya hidup slow living hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya yang memiliki privilese. (Sumber: Dok. Shutterstock/Zyn Chakrapong via Kompas.com)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Akhir-akhir ini gaya hidup slow living kembali menjadi perbincangan publik.

Slow living adalah gaya hidup yang menekankan pada kehidupan yang lebih sederhana, santai, dan lebih sadar akan waktu dan lingkungan sekitar.

Sebagian orang menilai gaya hidup ini cenderung menjauhkan seseorang dari sikap ambisius dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya yang memiliki privilese.

Menurut Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran Hery Wibowo, warga dunia semakin mengenal slow living yang berarti menata kembali hidup di sekeliling kita dengan pemaknaan penuh.

"Seyogianya, kehadiran gaya hidup slow living ini, memberikan nasihat pada kita semua, khususnya yang sedang terjebak dalam kompetisi fast living," jelas Hery secara tertulis pada 8 Mei 2023.

Slow living adalah kebalikan dari fast living, gaya hidup yang mendorong orang-orang untuk berlomba menjadi sukses dengan cepat dan selalu mengikuti tren.

"Seakan-akan secepat mungkin harus memasuki zona nyaman dan terlihat sukses," jelas Hery, dilansir dari Kompas.com.

Baca Juga: Apa Itu FOMO? Dikaitkan Konser Blackpink serta Dampak Negatif dan Cara Mengatasinya

Gaya hidup fast living, kata Hery, seakan ajang perlombaan yang tak ada ujungnya.

"Sehingga kehidupan seperti kompetisi berlari yang tidak berujung dan membuat pelarinya lelah terengah-engah," terangnya.

Sebaliknya, orang yang menerapkan gaya hidup slow living, tidak tergesa-gesa untuk terlihat sukses dan kaya.

"Tidak perlu tergesa, nikmati prosesnya. Tidak perlu berharap dicap sukses, namun berusahalah menjadi pejuang proses," urainya.

Slow living, kata Hery, bukan berarti tidak punya ambisi, namun berupaya meraihnya dengan hati-hati.

Slow Living Tak Hanya untuk Orang Kaya

Beberapa kegiatan atau aktivitas dari pengikut gaya hidup slow living tak membutuhkan biaya besar.

Bentuk kegiatan slow living, misalnya mengurangi penggunaan teknologi dan media sosial untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental. 

Pakar pengobatan China, Dr. Jenelle Kim, merekomendasikan masyarakat untuk memasukkan aktivitas yang butuh lebih banyak perhatian, ke dalam rutinitas sehari-hari, misalnya meditasi dan peregangan.

Menurutnya, jalan-jalan santai atau peregangan bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk mengatur ulang pikiran dan memulihkan pola pikir yang tenang dan rileks.

Baca Juga: Awas, Buat yang Tinggal di Kota Besar! Gaya Hidup Tak Sehat hingga Stres Jadi Pemicu Utama Jerawat

Selain itu, slow living juga bisa dilihat dari cara seseorang mengolah dan menikmati makanan secara perlahan dengan kesadaran akan bahan makanan yang digunakan.

Alih-alih memilih makanan cepat saji yang praktis, Kim menyarankan orang-orang untuk memilih makanan utuh, sehat, bergizi yang baik untuk diri sendiri dan lingkungan.

Cara lain menjalani slow living ialah memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraan kita di atas segalanya. 

Salah satu cara mencapai kebahagiaan itu ialah dengan mencatat bagaimana kita menghabiskan waktu dan energi. 

Untuk melakukan ini, mentor spiritual, Alyse Bacine, merekomendasikan untuk duduk dan menulis hal-hal yang kita lakukan setiap hari.

Lalu tanyakan pada diri kita apakah hal-hal itu berkontribusi pada kesejahteraan pribadi. Jika tidak, cobalah menggantinya dengan hal lain yang membuat kita lebih bahagia.

Memahami perubahan yang perlu dilakukan kadang bisa sangat tidak nyaman sehingga ia menyarankan untuk menyisihkan waktu khusus untuk proses tersebut. 

Ia berpesan agar orang yang menjalani slow living fokus untuk membuat satu perubahan pada satu waktu untuk mendapatkan dampak yang bermakna.

Baca Juga: Pakar Kesehatan: Konsumsi Gula Rendah Bisa Kurangi Depresi hingga Turunkan Risiko Kanker

Slow Living Bukan Berarti Malas

Gaya hidup slow living tidak sama maknanya dengan bermalas-malasan. Menurut Candace Kotkin-De Carvalho, direktur klinis di Absolute Awakenings Amerika Serikat (AS), slow living berarti menjalani hidup tanpa tergesa-gesa atau khawatir.

Kotkin-De Carvalho menyebut salah satu bentuk slow living ialah meluangkan waktu untuk menghargai momen-momen kecil.

Menerapkan gaya hidup ini dalam kehidupan sehari-hari, kata dia, dapat membantu kita terhindar dari kondisi yang memicu stres hingga kejenuhan dalam menjalani rutinitas. 

"Ini tentang menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang-orang dan lingkungan di sekitar kita," kata Kotkin-De Carvalho, sebagaimana dilansir dari Kompas.com, 19 Mei 2023.

Daniel Wysocki, seorang psikolog berlisensi yang berbasis di Arkansas, AS juga mengatakan, gaya hidup slow living bisa membantu mencegah stres kronis, kejenuhan, hingga berbagai gangguan kesehatan mental. 

Secara tidak langsung, slow living juga baik bagi kesehatan fisik, karena menurut Perpustakaan Kedokteran Nasional AS, stres kronis juga berkaitan dengan sebagian besar masalah kesehatan yang kronis.

Di antaranya, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, masalah usus, diabetes, obesitas, masalah kulit, gangguan tidur, dan depresi. 

"Memasukkan gagasan slow living ke dalam hidup kita, itu berarti menyeimbangkan waktu kerja, kewajiban, rekreasi dan relaksasi," kata Wysocki. 

Pola hidup yang berorientasi pada keseimbangan ini pun secara langsung bisa membantu kita terhindar dari stres, kejenuhan, serta kewalahan dalam menjalani berbagai aktivitas sehari-hari.


 




Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x