KOMPAS.TV - Salah satu yang menjadi perhatian, pada rangkaian penggeledahan atas penangkapan Munarman terkait dugaan tindak pidana Terorisme, adalah penemuan bahan peledak di bekas markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta Pusat.
Ramai diperbincangkan, mungkinkah ada peledak TATP yang dahsyat tersimpan di sana?
Penemuan TATP (Triaseton Triperoksida), yang merupakan bahan peledak yang kerap digunakan di wilayah konflik Irak dan Suriah oleh Negara Islam Irak & Suriah (ISIS), di eks markas FPI memang mengejutkan.
Baca Juga: Misteri Peledak Di Eks Markas FPI (1) - AIMAN
Misteri "Induk Setan" di Eks Markas FPI
TATP tidak hanya digunakan di luar negeri. Temuan pertama kali penggunaan bahan peledak dengan Julukan Induk Setan (Mother of Satan) ini adalah di Mal Alam Sutera pada tahun 2015 lalu.
Berturut-turut aksi jahat pengeboman di Tanah Air juga menggunakan TATP.
Di antaranya di Bom Kampung Melayu-2017, Bom Sejumlah Gereja di Surabaya, Jawa Timur-2018, dan terakhir Bom di depan Gereja Katedral di Makassar Sulawesi Selatan-2021.
"Mereka menyebut (TATP), The Mother of Satan, karena daya ledaknya tinggi dan sangat-sangat sensitif. Ini dengan guncangan atau panas saja bisa meledak sendiri," ucap Kapolri 2016-2019 Jenderal Tito Karnavian, usai memberi keterangan pasca kejadian bom di Surabaya, 2018 lalu.
Dari Mana Asal TATP?
Lalu dari mana bisa terdapat TATP di eks markas FPI?
Koordinator Penasihat Hukum FPI, Aziz Yanuar menjelaskan bahwa bubuk dan cairan yang ditemukan polisi di eks Markas FPI adalah Pembersih WC.
"Itu bahan pembersih WC infonya, untuk program bersih bersih WC masjid," Kata Aziz sesaat setelah ditanya wartawan pasca penemuan bahan peledak di eks Markas FPI.
Memang bahan pembuat TATP adalah Aseton plus Hidrogen Peroksida plus Asam Klorida, relatif mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Hidrogen Peroksida adalah unsur kimia yang banyak ditemukan di cairan pembersih keramik hingga toilet.
Sementara Aseton dikenal dengan pelarut kuat. Asam Klorida dijual bebas di toko-toko kimia, sebagai asam kuat yang sangat korosif.
Ketiga bahan ini, jika digabungkan akan punya after effect yang sangat merusak dan mematikan, terlebih dalam jumlah yang besar.
Syaratnya harus dipicu oleh salah satu dari tiga perlakuan ini; Panas, Api, atau Getaran/Gesekan.
Pengamat Terorisme lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, Hasibullah Satrawi yang diwawancara di Program AIMAN mengungkapkan, Indonesia beruntung memiliki sistem pembuktian dalam kasus terorisme menggunakan hukum.
Berbeda dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang memiliki subyektivitas tersendiri dalam penanganan kasus terorisme yang tertutup.
Baca Juga: Bantah FPI Organisasi Teroris, Rizieq Shihab: Kami Tak Pernah Punya Masalah dengan Pancasila
Ajang Pembuktian Terang Benderang di Pengadilan
Pada sistem hukum di Indonesia, semua yang dilakukan di Pengadilan memiliki syarat harus ada pembuktian.
Pembuktian dilakukan secara terbuka alias terang benderang.
"Bukti-bukti ini akan dibeberkan di pengadilan!", ungkap Hasib.
Jika tanpa bukti, maka dipastikan terdakwa akan bebas melenggang.
Sementara Ketua Ikatan Sarjana Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI), Komjen Pol. (Purn) Ito Sumardi, meyakini bahwa Polisi pasti memiliki bukti dalam kasus ini.
"Rekaman dari awal sampai akhir pengambilan barang bukti, pasti dimiliki penyidik, jadi tak mungkin ada rekayasa di sana." kata Kabareskrim Polri 2009-2011, Ito Sumardi.
Pembelahan di masyarakat soal percaya atau tidak ada bahan peledak berbahaya di eks markas FPI, bisa jadi tetap akan ada. Meski pembuktian di pengadilan adalah jawabannya.
Pengadilan layak menjadi ajang pembukaan bukti dari kedua belah pihak secara terang benderang.
Tak tersisa pertanyaan, hingga bagi sang Wakil Tuhan, menjadi kekuatan pijakan dalam penentuan putusan.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.