Kompas TV nasional hukum

Hakim Sidang Sambo Sebut Kuat dan Ricky Buta Tuli, Gayus Lumbuun: KY Perlu Libatkan Ahli Bahasa

Kompas.tv - 12 Desember 2022, 06:11 WIB
hakim-sidang-sambo-sebut-kuat-dan-ricky-buta-tuli-gayus-lumbuun-ky-perlu-libatkan-ahli-bahasa
Mantan Hakim Agung, Gayus Lumbuun, mengelompokkan saksi kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat, menjadi dua. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kiki Luqman | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Gayus Lumbuun mengatakan, Komisi Yudisial (KY) harus segera menindaklanjuti laporan Kuat Maruf terhadap Wahyu Iman Santoso selaku hakim yang menangani perkara pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan terdakwa Ferdy Sambo cs.

“KY punya kewajiban untuk menampung laporan, memproses. Tapi saya pribadi mantan hakim, saya harus mengatakan bahwa itu harus teliti mengenai kosa kata, itu interaktif atau tidak,” kata Gayus saat dihubungi, Minggu (11/12/2022) dikutip dari Tribun News.

Menurutnya, pelaporan Kuat Maruf terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dianggap melanggar etika itu termasuk dalam hal etika komunikasi.

Gayus menyebut etika komunikasi itu ada beberapa hal di antaranya etika umum dan etika interaktif. 


 

“Kalau interaktif, wajib untuk dijaga. Kalau etik umum itu biasa. Etik umum itu terjadi, kan etika itu bukan salah benar, tapi patut atau tidak patut. Itu etik bukan hukum. Kalau hukum bicara benar dan salah. Tapi etik itu bicara layak atau tidak layak, patut atau tidak patut,” ujarnya.

Kuat Maruf melalui kuasa hukumnya melaporkan hakim Wahyu ke KY karena menyebut kliennya buta dan tuli. 

Maka dari itu saran Gayus, Komisi Yudisial mendatangkan ahli bahasa guna memastikan apakah kata buta dan tuli yang diutarakan hakim tersebut melanggar etik atau tidak.

Baca Juga: Beda Kesaksian Eliezer dengan Ricky, Kuat Maruf soal Ferdy Sambo Tembak Yosua

“Tergantung tujuan dari apa yang diharapkan dari lontaran dalam komunikasi buta dan tuli. Lebih baik KY melibatkan ahli linguistik. Ada ahli linguistik di Kumham punya itu. Saya tahu sekali, ahli bahasa tentang etika komunikasi. Itu bisa ditanyakan apakah sang hakim mengejar pertanyaan mengungkapkan buta dan tuli, apakah itu kosa kata yang melanggar etika interaktif,” ujarnya.

Gayus menjelaskan ada peraturan terkait perlindungan saksi dan korban, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK). Namun, kata dia, tidak menjelaskan spesifik tentang kosa kata.

“Misalnya, pada UU perlindungan saksi dan korban. Status saksi itu kalaupun terdakwa, status dalam persidangan itu sebagai saksi. KUHAP sebagai saksi. Maka, ada UU perlindungan saksi dan korban yang menekankan bahwa proses peradilan hukum tidak boleh melakukan tekanan kepada saksi dan korban dalam bentuk apapun,” ucapnya.

Gayus mengungkapkan apakah kata tuli dan bisu yang diucapkan hakim Wahyu itu masuk kategori penekanan terhadap saksi Kuat Maruf. 

“Kalau itu ditujukan kepada makian memaki, memang betul itu akan melanggar. Kalau memaki Anda tuli, misalnya begitu. Tapi ini kan pertanyaan, kok Anda tidak tahu Anda berada di sana, apakah Anda tuli. Tuli ya? Itu ahli yang bisa menilai,” ucapnya.

Selain itu, Gayus mengatakan ahli linguistik ini juga bisa menilai apakah hakim Wahyu yang kerap menyebut saksi dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan kata berbohong sebagai kesimpulan atau bukan.

“Itu dilihat nadanya. Kalau Anda berbohong, itu mungkin bisa saja dia sudah membuat analisis atau statemen. Tentu pemaknaannya oleh ahli bahasa. Jadi saya menekankan ahli bahasa mengenai lontaran kata masuk kepada etik komunikasi melanggar atau tidak. Kalau pun melanggar, etik kan sanksinya administratif, kalau hukum tindakan. Jadi etik ini pada administrasi, ditegur dan maksimal dipindahkan,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Kuasa hukum Kuat Maruf, Irwan Irawan melaporkan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso ke Komisi Yudisial pada Rabu 7 Desember 2022, terkait pernyataannya kepada Kuat Maruf dan Bripka RR saat memberikan kesaksian dalam sidang terdakwa Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dan Bripka Ricky Rizal alias RR. 

Saat itu, Kuat tengah menjadi saksi yang dikonfrontir dengan dua terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Irwan melaporkan hakim ketua Wahyu Iman Santoso lantaran adanya dugaan pelanggaran kode etik.

"Kaitannya dengan kode etik karena dalam beberapa persidangan pemeriksaan saksi banyak kalimat-kalimatnya ketua majelis yang sangat tendensius kami lihat," ujar Irwan saat dikonfirmasi pada Kamis, 8 Desember 2022.

Kemudian, ia menjelaskan kalimat yang disebut sebagai kalimat tendensius itu berupa pernyataan hakim yang menyebutkan bahwa Kuat Maruf telah berbohong dalam memberikan keterangan.

"(Kalimat tendensius) Seperti disampaikan ke Kuat misalnya ketika diperiksa sebagai saksi disampaikan bahwa kamu konsisten berbohong, kemudian pada saat Kodir diperiksa ini setingan semua, hal-hal seperti ini kan sudah menyimpulkan, harus diuji dengan keterangan yang lain. Kesimpulan seperti itu menurut kami tidak pada tempatnya disampaikan majelis dalam pemeriksaan saksi," ujarnya.

Baca Juga: Masih Bertahan di Sisi Sambo, Ini Momen Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf Dicecar Hakim!




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x