Kompas TV regional jawa tengah dan diy

Pasang Surut Kerajinan Perak Kotagede Yogyakarta sejak Zaman Belanda hingga Kini

Kompas.tv - 6 Juni 2024, 15:50 WIB
pasang-surut-kerajinan-perak-kotagede-yogyakarta-sejak-zaman-belanda-hingga-kini
Seorang perajin perak di kawasan Kotagede, Yogyakarta, sedang membakar bahan perak untuk dijadikan perhiasan, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Desy Afrianti

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Beragam barang kerajinan berbahan perak tertata rapi di dalam etalase kaca di salah satu rumah di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Sorotan sejumlah lampu kecil di atas etalase terpantul di permukaan brang-barang itu.

Detail ukiran halus pada perhiasan yang terpajang menjadi daya tarik utama kerajinan yang seluruhnya dibuat dengan tangan.

Salah satu etalase kaca yang terletak di sudut kiri ruangan memajang hasil kerajinan lain yang berukuran lebih besar. Salah satunya adalah bonbon atau wadah permen dengan ukiran yang indah.

Di ruangan lain rumah itu, sejumlah perajin sedang sibuk bekerja. Suara ketukan palu terdengar di antara suara semburan api dari alat pembakar.

Suara ketukan palu itu berasal dari tempat duduk seorang wanita yang memukul-mukul pelan perak yang akan diolah menjadi kerajinan. Selain cahaya matahari dari luar ruangan, satu lampu gantung membantunya menerangi barang-barang di atas meja kerja.

Sekitar empat meter dari tempat perempuan itu duduk, seorang pria paruh baya terlihat mengarahkan api dari alat pembakaran ke arah butiran perak di meja kerjanya. Satu kubus dengan cekungan beragam ukuran menjadi alat bantunya membentuk butiran perak.

Sejumlah pria lain juga duduk berjejer tidak jauh dari tempat pria paruh baya itu. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, mulai dari membentuk perak menjadi lingkaran hingga menghasluskan dengan amplas.

Sentra Kerajinan Perak Kotagede

Kotagede terkenal sebagai sentra kerajinan ukir perak sejak berpuluh tahun lalu. Namun, industri kerajinan perak di kawasan itu mengalami pasang surut.

Beberapa waktu terakhir, kendala yang dihadapi oeh para perajin perak di kawasan ini adalah mahalnya bahan baku. Tingginya harga bahan baku perak menyebabkan para pedagang perak enggan menjualnya pada para perajin.

Sebab, mereka khawatir setelah perak mereka laku terjual, uang hasil penjualan tidak bisa untuk modal membeli perak kembali.

“Problematika khusus, misalnya seperti kami yang masih bisa bertahan seperti ini, yang masih punya order, punya karyawan, punya workshop, problematika kami saat ini adalah harga perak yang tinggi sekali,” kata Priyo Salim, pemilik usaha kerajinan perak di tempat itu, Rabu (5/6/2024).

“Akibatnya, tidak ada barang dagangan perak. Saya sebagai produsen juga maklum bahwa pedagang perak ketika harga naik cepat sekali, mereka takut rugi dan menyimpan dagangannya.”

Seorang perempuan perajin perak di kawasan Kotagede, Yogakarta, sedang menyiapkan perak bahan baku kerajinan, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Saat pedagang bahan baku menahan perak milik mereka, otomatis para perajin tidak memiliki bahan untuk memroduksi kerajinan, sehingga tidak bisa memenuhi pesanan dari pelanggan.

Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh para perajin untuk tetap berproduksi dan memenuhi pesanan pelanggan adalah dengan melebur kembali perhiasan perak yang sudah jadi dan bukan pesanan dari pelanggan.

Melebur kembali barang yang sudah jadi merupakan hal menyedihkan bagi para perajin. Terlebih jika perhiasan yang dilebur tersebut memiliki nilai sejarah, seperti perhiasan berusia cukup tua.

Peleburan terhadap barang kerajinan bernilai sejarah pernah terjadi pada tahun 1998, saat krisis moneter terjadi di Indonesia.

“Kalau yang dilebur itu barang-barang tidak ada nilai heritage, tidak ada catatan sejarah, tidak apa-apa.”

“Tapi waktu zaman 98 itu betul-betul terjadi hal menyedihkan, ketika mereka melebur yang dilebur adalah tea set dan coffee set,” kata Priyo.

Barang berbahan perak seperti tea set dan coffee set memiliki nilai sejarah karena proses pembuatannya yang rumit. Proses pembuatan barang-barang semacam itu membutuhkan keterampilan dan keahlian khusus, yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan.

Tidak adanya perajin yang mumpuni untuk membua tea set dan coffee set disebabkan tidak adanya pemesanan kerajinan semacam itu dalam beberapa puluh tahun terakhir, sehingga para perajin pun fokus untuk membuat barang-barang berukuran lebih kecil dengan tingkat kesulitan berbeda.

“Sejak 1998 sampai sekarang ketika tidak ada orderan tea set dan coffee set maka tidak ada regenerasi perajin untuk memroduksi tea set dan coffe set.”

“Itu kan proses pertamanya diondel, diondel itu dilengkung dan sebagainya. Setelah itu diukir, lalu dipatri dan proses lain,” tuturnya.

Dua perajin ukiran perak di kawasan Kotagede, Yogyakarta, sedang bekerja mempproduksi barang kerajinan di tempat kerjanya, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Saat ini perajin yang memiliki keterampilan mengondel sudah mulai muncul, tetapi mereka tidak bekerja di sektor kerajinan perak, melainkan tembaga atau aluminium. Priyo berharap ke depannya akan muncul juga perajin yang memiliki keterampilan mengondel perak.

Bukan hanya tenaga pengondel yang punah akibat tidak adanya pesanan tea set dan coffee set, tetapi juga tenaga pengukir kerajinan berukuran besar.

Sebagai upaya antisipasi agar tenaga pengukir tidak benar-benar hilang, Priyo pun menerapkan seni ukir pada perhiasan perak berukuran lebih kecil.

Tantangan yang dihadapi oleh para perajin perak di Kotagede bukan hanya dari bahan baku, tetapi juga dari pemasaran produk. Selama beberapa tahun terakhir, pesanan kerajinan perak menurun drastis.

Menurut Priyo, sejak menggeluti sektor kerajinan perak tersebut pada tahun 1987, ia sudah melihat setidaknya tiga kali kehancuran industri kerajinan perak.

“Jadi di Kotagede itu kita bisa melihat periodesasi. Tahun 1998 itu hancurnya pengusaha perak yang memroduksi perak pemasaran dalam negeri, yang 2008 itu hancurnya pengusaha perak eksportir.”

Pada tahun 2008 usahanya sempat terdampak. Karyawan yang tadinya mencapai 60 orang terpaksa ia kurangi hingga tersisa 10 orang.

“Pada tahun 1998 saat pasar Indonesia hancur kami justru sedang besar-besarnya karena pasar kami ekspor, kami nggak terpengaruh. Tapi ketika tahun 2008  yang krisis itu ada internasional, kami kena,” ucapnya.

Perajin perak di Kotagede sedang bekerja, Rabu (5/6/2024). Kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, mengalami pasang surut sejak zaman Belanda hingga saat ini. (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Kondisi itu semakin diperparah dengan munculnya pandemi Covid-19 pada tahun 2019 lalu. Beruntung saat itu ia masih memiliki pelanggan tetap dari Eropa.

Saat ini jumlah perajin perak yang terdaftar sebagai anggota Koperasi Perak Kotagede ada sekitar 70 orang. Namun, pada rapat anggota yang dilaksanakan pekan lalu, hanya sekitar 20 perajin saja yang hadir.

“Ketika 20 orang itu mengisi kuesioner, yang masih riil di rumahnya ada perajin tinggal empat atau tiga. Sangat menyedihkan.”

Kenaikan harga emas dan perak berpengaruh pada tren pesanan perhiasan yang dipesan oleh pelanggan. Kini, pesanan kerajinan perak di Kotagede didominasi oleh cincin kawin atau wedding ring.

Masalahnya, kata Priyo, saat berbicara tentang kerajinan perak Kotagede bukan sekadar berbicara tentang bisnis, tetapi juga seni ukir.

“Sekarang kita mau bicara bisnis atau budaya? Kalau sekadar bisnis maka mungkin bisnis wedding ring bisa membantu perajin perak Kotagede eksis.”

“Tapi teknik perak Kotagede sudah tinggal kenangan. Anak cucu kita harus ke museum untuk melihat karya-karya indah nenek moyang,” kata pria yang juga merupakan Ketua Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini

Kerajinan perak hasil produksi para pendahulu menurut dia adalah karya seni yang dibuat oleh orang-orang yang betul-betul master dalam mengukir. Jika saat ini kita baru mau kembali mengajarkan seni ukir pada geneasi muda, maka hasilnya baru akan terlhat puluhan tahun ke depan.

Sejumlah peralatan yang digunakan oleh perajin perak di kawasan Kotagede, Yogyakarta, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Pasang Surut Kerajinan Perak

Kerajinan perak di Kotagede diyakini mulai ada sejak zaman Panembahan Senopati. Namun, yang tercatat dan dapat benar-benar dibuktikan adalah sejak zamah Hamengku Buwono (HB) VIII.

Menurut Priyo, memang beluma ada bukti autentik tentang adanya kerajinan perak Kotagede di zaman Panembahan Senopati. Ada dugaan bahwa pada zaman itu kerajinan perak memang sudah ada, namun hasil kerajinan itu kembali dilebur untuk dibuat kerajinan lain dengan gaya lebih baru.

“Ada yang mengatakan bahwa perak Kotagede memang berasal dari zaman (Panembahan) Senopati, tapi perak itu kan kalau sudah jemu dan mau dijual bisa dilebur lagi dan dibikin style baru.”

“Katanya zaman Panembahan Senopati, Sultan Agung itu persediaan bahan perak sedikit, jadi ketika mereka membuat sesuatu yang baru, mereka lebur dan bikin lagi, jadi kita tidak bisa melacak,” ujarnya.

Sejauh dirinya menjadi pemerhati Perak Kotagede, Priyo hanya pernah melihat dan memegang langsung karya kerajinan perak yang berasal dari era HB VIII. Tapi hasil produksinya biasa saja.

Masa keemasan kerajinan perak Kotagede disebutnya justru terjadi pada masa Mary Agnes van Gesseler Verschuir, istri dari PRW van Gesseler Versuir, istri Gubernur Belanda yang berkuasa di Yogyakarta pada sekitar tahun 1920 an.

Priyo Salim, seorang perajin peak di Kotagede, Yogyakarta, menunjukkan salah satu kerajinan perak berupa bonbon atau wadah permen, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Priyo kemudian menunjukkan sebuah buku karya Pienke WH Kal berjudul Yogya Silver: Renewal of a Javanese Handicraft, yang diperolehnya dari kurator museum di Amsterdam.

Menurut buku yang menceritakan perkembangan kerajinan perak Kotagede tersebut, kerajinan perak Kotagede tak lepas dari peran Mary.

“Dia melihat di Kotagede ada orang yang membuat karya (perak) untuk keraton, dan orang Belanda sendiri memang selalu menggunakan alat minum perak. Dia pun memberi order orang Kotagede untuk membuat karya seperti itu, tapi dengan menambah ukiran,” ujarnya.

Mary bahkan mengundang para perajin perak dari Kotagede untuk mengikuti pelatihan desain dan teknik baru. Ia juga memotret relief pada Candi Prambanan untuk dijadikan ukiran kerajinan perak.

“Memotret relief prambanan, kemudian didesain uang oleh abdi dalem Pakualaman kemudian diterapkan dalam ukiran perak Kotagede. Saat itulah perak Kotagede mngalami masa keemasan,” kata Priyo sambil menunjukkan gambar-gambar pada bukunya.

Priyo bahkan sempat mengadakan penelitian mengenai kesejahteraan para perajin perak Kotagede di masa Mary Agnes van Gesseler. Ia menanyakan gaji perajin perak di masa itu.

“Saya pernah mengadakan penelitian, pada tahun di mana Mary Agnes van Gesseler ini punya peran yang bagus di Kotagede itu perajin perak Kotagede bisa mendapat gaji Rp2,5 per hari,” tuturnya tanpa merinci metode penelitiannya.

Seorang perajin perak di kawasan Kotagede, ogyakarta, menunjukkan proses pembuatan kerajinan, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Pada masa itu, uang sebesar Rp2,5 dapat digunakan untuk membeli beras sebanyak 30 kilogram, atau kira-kira nominal saat ini sekitar Rp500 ribu.

“Itu dapat sekitar 30 kilogam. Kalau sekarang mungkin sekitar Rp500 ribu per hari.”

“Saya pengusaha perak yang sejak lulus UGM tahun 1987 sampai sekarang tidak pernah saya bisa menggaji karyawan sampai Rp300 ribu per hari. Artinya, saya hanya ingin mengatakan bahwa kesejahteraan mereka dahsyat sekali,” ungkapnya.

Masa keemasan perajin perak Kotagede hancur total saat Jepang menduduki Indonesia. Namun kembali bergeliat saat era pemerintahan Presiden 1 RI, Soekarno dan berlanjut di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

“Ketika Jepang pergi, Soekarno memberikan bantuan perak putu atau perak bahan baku yang harganya lebih murah daripada harga di luar,” ucapnya.

“Kemudian zaman Presiden Soeharto perak Kotagede dijadikan souveir kenegaraan ketika Soeharto ke luar negeri atau saat ada tamu luar negeri datang ke Indonesia. Pasca-Soeharto, pemerintah Indonesia tidak ada perhatian sama sekali terhadap perak Kotagede.”

Ia memrediksi pangsa pasar kerajinan perak Kotagede masih ada, hanya saja dibutuhkan dukungan riil dari pemerintah untuk membangkitkan kembali.

“Seperti yang saya ceritakan tadi, zaman Soekarno membantu bahan baku, zaman Soeharto membantu pemasaran, tapi pemerintah kita saat ini tidak ada perhatian.”

“Jelas sekali, tanpa dukungan riil dari pemerintah, kita itu nggak akan bisa, itu secara umum ya. Kalau saya alhamdulillah, bukannya menyombongkan diri, tanpa bantuan pemerintah saya bisa bertemu customer saya,” ujarnya.



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x