MANILA, KOMPAS.TV – Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap atas perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Bandara Internasional Manila pada Selasa (11/3/2025).
Penangkapan tersebut berkaitan dengan dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan selama operasi pemberantasan narkoba yang berlangsung sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Davao hingga menjadi Presiden Filipina.
Lantas, apa kasus dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Duterte?
Baca Juga: Eks Presiden Filipina Duterte Ditangkap atas Perintah ICC
Duterte pertama kali melancarkan perang terhadap narkoba setelah menjabat sebagai Presiden Filipina pada 2016. Kampanye ini mengakibatkan ribuan orang tewas, terutama dari kalangan masyarakat miskin perkotaan.
Dilansir dari data yang dirilis Human Rights Watch pada 2023 silam, Filipina mencatat sebanyak 6.252 orang tewas dalam operasi anti-narkoba oleh kepolisian dan Badan Penegakan Narkotika Filipina (PDEA) sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Mei 2022.
Namun, angka ini tidak mencakup pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata tak dikenal, yang menurut Human Rights Watch dan berbagai organisasi HAM, diduga beroperasi dengan dukungan polisi dan pejabat setempat.
Laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) pada 2020 mencatat jumlah korban tewas dalam perang narkoba mencapai setidaknya 8.663 orang.
Sementara itu, kelompok HAM domestik dan Komisi Hak Asasi Manusia Filipina memperkirakan jumlah korban bisa mencapai tiga kali lipat dari angka yang dilaporkan.
Pada Februari 2018, Jaksa ICC saat itu, Fatou Bensouda, membuka penyelidikan awal atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama operasi anti-narkoba Duterte.
Setelah melakukan analisis, pada Mei 2021, ia meminta izin kepada pengadilan untuk melanjutkan penyelidikan formal. Pengadilan praperadilan ICC akhirnya mengizinkan penyelidikan ini pada September 2021.
Namun, pada November 2021, pemerintah Filipina mengajukan permohonan agar penyelidikan ICC ditangguhkan. Mereka mengeklaim telah melakukan investigasi sendiri terhadap kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum yang melibatkan aparat kepolisian.
Baca Juga: Wapres Filipina Sara Duterte Terancam Jadi Tersangka, Dituduh Menghasut Pembunuhan Presiden
Jaksa ICC Karim Khan kemudian meninjau permohonan ini dan menyatakan bukti yang diberikan oleh pemerintah Filipina tidak cukup untuk menghentikan penyelidikan.
Pada Januari 2023, majelis hakim ICC memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan, dengan alasan bahwa upaya domestik Filipina dalam mengusut kasus-kasus ini tidak memenuhi standar investigasi yang setara dengan ICC.
Meskipun Duterte menarik Filipina dari Statuta Roma pada 2019, ICC masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang diduga terjadi sebelum Filipina resmi keluar dari perjanjian tersebut pada 16 Maret 2019.
Oleh karena itu, penyelidikan meliputi dugaan kejahatan dari 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019.
Majelis hakim ICC menegaskan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma, Filipina telah menerima yurisdiksi pengadilan ini dan tetap berkewajiban untuk bekerja sama dengan ICC dalam penyelidikan dan penegakan hukum.
Penangkapan Duterte menjadi tonggak penting dalam upaya menegakkan akuntabilitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Filipina. Namun, proses hukum masih panjang.
Jika ICC memutuskan untuk membawa kasus ini ke persidangan, pengadilan harus mengumpulkan bukti lebih lanjut dan memastikan Duterte bisa diadili di Den Haag, Belanda.
Baca Juga: Reaksi Sekutu Wapres Sara Duterte Usai Dimakzulkan DPR Filipina: Akan Dihadapi dengan Senyuman
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.