Kompas TV kolom opini

Lagu Sukatani dan Reaksi Polisi

Kompas.tv - 25 Februari 2025, 23:51 WIB
lagu-sukatani-dan-reaksi-polisi
Sukatani (Sumber: Kompas.com)

Oleh: Nugroho Iman, Jurnalis Kompas TV, Akademisi Alumni Kriminologi

Baca Juga: Ke Mana Kita? #kaburajadulu

Sore itu saya sedang menikmati secangkir kopi susu dan singkong goreng di warkop langganan. Saya iseng membuka media sosial.

Tiba-tiba muncul tagar baru #kamibersamasukatani bersamaan dengan tagar populer lainnya seperti #Indonesiagelap yang juga sedang trending. 

Karena tagar itu saya lantas mencari tahu, siapa sih Sukatani ini? Kenapa tagar #kamibersamasukatani teramplifikasi?

Saya segera browsing. Di instagram muncul video grup band sukatani. 

Isi video itu berupa permintaan maaf yang diunggah akun resmi milik Sukatani, yakni @sukatani.band. Postingan di akun itu saat saya lihat sudah mencapai 111 ribu komentar dan 550 ribu likes.

Boleh jadi saat ini sudah lebih dari jumlah tersebut.

Baca Juga: Kasus Band Punk Sukatani: Kritik atau Intimidasi? Ini Kata Amnesty International Indonesia

Ternyata viralnya video itu bermula dari band Sukatani yang meminta maaf secara terbuka kepada Kapolri dan Institusi Polri atas lirik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”.

Dua personel band Sukatani yang merekam video permintaan maaf kepada Kapolri dan Institusi kepolisian di depan kamera.

Mereka juga meminta semua pihak tidak lagi menggunakan lagu “Bayar Bayar Bayar” dalam semua kegiatan. 

Tak berselang lama, lagu itu mendadak hilang dari semua platform musik digital, seperti spotify dan Youtube music. Padahal lagu ini sudah ada di platform digital musik dan sudah dirilis sejak 2023 silam.

Sukatani adalah duo band indie. Di sejumlah media disebutkan duo personel Sukatani berasal dari Purbalingga, Jawa Tengah.

Mereka adalah Muhammad Syifa Al Ufti alias Alectroguy dan Novi Chitra Indriyaki alias Twister Angel.

Ciri khas mereka mengenakan topeng atau penutup wajah dan kostum unik dalam aksi panggungnya. Terkadang mereka juga membagikan hasil bumi seperti ikatan sayur kepada penonton.

Band Sukatani mengusung aliran new Wave Punk yang terinspirasi dari band punk era 80-an Anarchi-punk.

Lirik-lirik lagu Sukatani bercerita tentang protes dan kritik terhadap berbagai macam situasi yang mereka anggap tidak semestinya terjadi. Termasuk ungkapan keresahan diri mereka seperti kehidupan sosial.

Sebagai contoh lainnya, misalnya dalam lirik lagu “Gelap Gempita” yang sekaligus juga judul album Sukatani.

Berikut petikannya:

Di dalam otak mereka hanyalah kekuasaan
Di dalam hati mereka tak ada kepuasan
Di dalam cara mereka terpampang kedzaliman
Di dalam harap mereka cahaya kemenangan

Tak lama setelah permintaan maaf tersebut, bertebaran meme duo Alectroguy dan TwisterAngel yang dibuat netizen.

Isinya sebagian besar adalah kritik terhadap polisi yang diduga mengintimidasi mereka untuk meminta maaf.

Atas hal itu Polri sudah membantahnya dan menyatakan tidak melakukan intimidasi terhadap Sukatani.

Kapolri menyatakan, Polri tidak antikritik dan terbuka menerima berbagai masukan sebagai upaya memperbaiki diri.

Bahkan, Bidang Propam Polri juga bergerak cepat dan serius memeriksa personel Polda Jateng yang menemui band Sukatani.

Baca Juga: Aksi Solidaritas untuk Band Sukatani

Antara Nyaman, Percaya dan Citra

Dari apa yang terjadi dengan band Sukatani dan komentar warganet di dalamnya mencerminkan adanya dinamika di masyarakat terhadap polisi.

Lebih tepatnya, dinamika masyarakat terhadap beberapa oknum di dalam tubuh institusi kepolisian.

Pada survei Litbang Kompas 2024, citra kepolisian sangat tinggi nilainya. Sebanyak 73,1% responden yang disurvei memberikan penilaian positif terhadap citra polisi. 

Tetapi hasil survei periodik yang dilakukan Litbang Kompas di awal 2025 menunjukkan berbeda. Responden menilai citra positif kepolisian menyentuh angka 65,7%.

Sehingga citra positif kepolisian berdasarkan dua survei periodik tersebut turun lebih dari 7%. 

Penurunan ini signifikan jika dilihat dari data tersebut. Dinamika komentar masyarakat di media sosial dalam isu Sukatani seolah mencerminkan angka-angka tersebut. 

Komentar-komentar warganet meriuhkan jagat media sosial. Riuh percakapan mulai dari menceritakan pengalaman, beropini, mengkritisi hingga memaki.

Hal ini terlihat dalam percakapan antarwarganet di berbagai aplikasi media sosial dalam isu Sukatani. 

Sebagian netizen atau warganet berasumsi ada ketidakadilan yang mereka rasakan berkaitan dengan persoalan sehari-hari. Misalnya soal ketertiban umum, masalah hukum dan rasa aman. 

Jika berkaitan dengan kasus hukum yang viral, tagar seperti #noviralnojustice atau #percumalaporpolisi masih sering ditemui.

Terlebih, sebelum Sukatani menjadi buah bibir. Publik masih membicarakan isu perwira menengah polisi yang diduga memeras tersangka dalam kasus pembunuhan yang nilainya mencapai miliaran rupiah. 

Dari komentar-komentar yang saya tangkap pada isu Sukatani, warganet berpendapat, polisi melakukan tindakan berlebihan terhadap sebuah karya seni lagu, sampai memaksa mereka meminta maaf.

Baca Juga: Pemecatan Vokalis Band Sukatani sebagai Guru Belum Final, Sekolah: Tunggu Klarifikasi dari Novi

Broken Windows dan Konstruksi Sosial 

Dalam ilmu kriminologi, salah satu teori pemolisian yang terkenal adalah teori Broken Windows. Teori ini dikenalkan oleh Wilson dan Kelling di Amerika Serikat pada 1982.

Penjelasan singkatnya kurang lebih seperti ini: ketidakteraturan dalam lingkungan atau kejahatan kecil lainnya, dapat menciptakan persepsi bahwa area tersebut tidak terawasi dan rentan terhadap kejahatan yang lebih serius.

Artinya, jika polisi bisa mengatasi isu keamanan, ketertiban umum atau masalah-masalah kecil dalam lingkungan seperti balap liar dan tawuran, maka kejahatan yang lebih besar bisa dicegah.

Di sini dibutuhkan respons cepat para personel kepolisian dalam menindaklanjuti segala macam laporan. 

Masyarakat berharap polisi harus seorang tokoh superhero, seperti The Flash atau tokoh Marvel Iron Man yang bergerak cepat menangkap penjahat dan mengatasi kejahatan tanpa pamrih.

Padahal dalam pelaksanaannya, polisi tidaklah bisa secepat itu. Ada sejumlah aturan hukum dan prosedur yang perlu dijalankan dan dipatuhi karena personel polisi tetap manusia biasa.

Berkaitan dengan rasa ketidakadilan dan kesan “kelambanan” dalam respons sistem pelaporan persitiwa kejahatan menjadi salah satu isu bagi warganet. 

Dalam kriminologi juga dikenal teori konstruksi sosial kejahatan. Secara sederhana, pendekatan ini menekankan bahwa kejahatan itu dikonstruksi oleh siapa yang menerjemahkan sebuah perilaku itu sebagai kejahatan atau bukan.

Berdasarkan kondisi sosial budaya dan politik yang berlaku di masyarakat dalam kurun waktu tertentu. 

Teori konstruksi sosial kejahatan diperkenalkan Berger dan Luckmann (1990). Pendekatan konstruksi sosial ini mengambil dasar teori hegemoni kekuasaan Antonio Gramsci yang menjelaskan secara singkat bahwa hegemoni bisa tercipta melalui konsensus antara pihak berkuasa dan subordinat (Patria &Arif, 2015).

Gramsci berpendapat, kekuasaan dan kontrol sosial dipertahankan melalui institusi-institusi tertentu.

Polisi tidak hanya berfungsi menegakkan hukum dalam konstruksi sosial, budaya dan politik masyarakat, tetapi sekaligus menetapkan perbuatan dikategorisasi sebagai pelanggaran norma dan kejahatan untuk melindungi kelompok dominan atau kelas tertentu.  

Sehingga tak heran masyarakat awam sering berpersepsi bahwa polisi kerap melindungi kepentingan kelompok dominan atau kelas tertentu dalam masyarakat. Tindakan mereka dapat menciptakan rasa tidak nyaman bagi publik.  

Nah, yang sulit adalah rasa ini sifatnya sangat subjektif, tetapi jika disampaikan secara massal di dunia maya akan terasa, meski belum tentu benar juga secara duduk perkara kasus demi kasus.

Rasa ini mirip dengan aroma. Analoginya kurang lebih seperti ada sekumpulan orang dalam sebuah ruangan berpendingin. 

Lalu tiba-tiba tercium aroma tak sedap karena ada seseorang yang buang angin. Tapi si pelaku diam saja, tidak mengaku, namun “wanginya” sudah tercium satu ruangan.

Akhirnya mereka di ruangan itu hanya bisa menutup hidung sambil melihat satu sama lain.

Rasa agak sulit diukur jika menggunakan angka statistik, tetapi bisa dijelaskan meski kadang abstrak juga.

Inilah tantangannya bagi kedua belah pihak. Polisi sebagai institusi dan publik sebagai civil society untuk bertemu di tengah dan menghasilkan dialektika baru, konsensus demi rasa nyaman dan aman bersama.

Baca Juga: Demo Anti Korupsi di Polda Jatim, Demonstran Nyanyikan Lagu Band Sukatani

Tawaran Kapolri yang menginginkan band Sukatani menjadi duta polri, jika band tersebut bersedia bisa menjadi jembatan pembuka hadirnya dialektika baru. 

Namun, ketika polisi dipersepsi tidak adil oleh publik atau bias dalam penegakan hukum dapat menggerus lagi citra positif publik kepada polisi. 

Peristiwa yang mencoreng nama institusi Polri itu mungkin hanya sedikit dari banyak tindakan baik dan aksi nyatanya, bahkan aksi kemanusiaan personel Polri. 

Banyak juga personel kepolisian yang bergerak cepat dalam peristiwa-peristiwa tertentu.

Misalnya menolong ibu yang melahirkan, menembak pelaku begal yang viral, menindak pelanggar lalu lintas dengan santun, atau gerak cepat personel menangkap pemalak di angkot yang meresahkan penumpang.

Contoh baik dan nyata terjadi seperti di kasus seorang remaja di Pati, Jawa Tengah yang tertangkap basah mencuri pisang.

Ironinya ia sempat diarak warga. Setelah diselidiki ternyata remaja itu mencuri pisang karena kebutuhan hidup. 

Setelah dimediasi Polsek, remaja itu diangkat menjadi anak asuh Kapolsek setempat. Inilah contoh baik dan nyata, publik pun mendukung hal baik ini.

Sebetulnya peristiwa ini terjadi berdekatan, tapi tidak seviral band Sukatani. 

Pada akhirnya terus terang saya bukan penggemar punk. Saya lebih menyukai musik seperti Metallica hingga Peter Cetera. Tetapi kenapa saya jadi mendengarkan band Sukatani? 

Sambil menghabiskan kopi susu dan singkong goreng di warkop langganan, saya membatin: Ada apa dengan Sukatani?

Yang pasti, karena setelah viral itu kita kembali ke kehidupan yang tak ubahnya seperti penggalan lirik lagu Sukatani berikut ini:

Dan, kami tak pernah berharap
Sebab bila tak nyata kami 'kan kecewa
Dan, lakukan yang kami bisa
Bekerja dan belajar di jalan yang ada

Selama itu bukan segala kejahatan
Selama itu adalah sebuah pilihan

Baca Juga: Lansia dan Ancaman Korban Kejahatan Teknologi




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x