Kompas TV nasional peristiwa

Panglima TNI Terjunkan Polisi Militer Cegah Anggota TNI Jadi Provokator Keributan di Rempang

Kompas.tv - 13 September 2023, 08:45 WIB
panglima-tni-terjunkan-polisi-militer-cegah-anggota-tni-jadi-provokator-keributan-di-rempang
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono saat memberikan pengarahan kepada Pangkotama di jajaran TNI, Selasa (12/9/2023). (Sumber: Puspen TNI)
Penulis : Tito Dirhantoro | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan pihaknya menurunkan tim dari polisi militer di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Tujuannya, untuk mencegah kemungkinan adanya prajurit TNI yang ikut terlibat atau jadi provokator dalam sengketa kepemilikan tanah di lokasi tersebut.

“Polisi Militer (POM) TNI kami turunkan, jangan sampai ada prajurit TNI yang terlibat, mungkin apa namanya provokator, atau mungkin punya lahan-lahan yang tidak sah di sana. Kami beri imbauan,” kata Yudo di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa (12/9/2023).

Baca Juga: Unjuk Rasa Tolak Pengembangan Kawasan Rempang Ricuh, Jenderal Polisi Terluka Kena Lemparan Batu

Ia mengaku sudah menerima laporan Komandan Pusat Polisi Militer atau Danpuspom TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko bahwa Puspom TNI telah mengirimkan tim gabungan untuk Satuan Tugas POM TNI ke Pulau Rempang.

Sementara itu, terkait situasi keamanan di Pulau Rempang, Panglima TNI menyampaikan bahwa posisi prajurit TNI hanya membantu tugas polisi.

“Sudah dari awal kami sampaikan kepada pangdam maupun pangarmada, danlantamal, danrem di sana, TNI yang di sana (Pulau Rempang) sifatnya perbantuan kepada Polri,” kata Laksamana Yudo.

Sebelumnya diberitakan Kompas.tv, sejumlah kelompok masyarakat di Pulau Rempang bentrok dengan polisi pada Kamis (7/9/2023). Warga Pulau Rempang menolak pengukuran lahan untuk pembangunan Rempang Eco-City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Pulau Rempang yang memiliki luas kurang lebih 17.000 hektare direncanakan menjadi kawasan ekonomi terintegrasi yang menghubungkan sektor industri, jasa dan komersial, residensial atau permukiman, agro-pariwisata, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Baca Juga: Wali Kota Batam Jamin 8 Warga Rempang yang Jadi Tersangka dan Ditahan Akan Dilepaskan

Terkait bentrok itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta polisi menangani aksi massa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan penuh kemanusiaan.

“Ya kita tetap secara hukum minta aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan,” kata Mahfud MD.

Dalam kesempatan yang sama, Mahfud menjelaskan negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau kepada perusahaan. Dia mengatakan surat keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah itu dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu tahun 2001, 2002,” kata Mahfud.

Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain karena tidak kunjung digarap dan tak pernah ditengok.

Baca Juga: Kata Mahfud MD soal Rempang: Itu Bukan Penggusuran, tapi Pengosongan Lahan

“Seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” ucapnya.

Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. Ternyata tanahnya sudah ditempati. 


“Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.

Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan, sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan,” tutur Mahfud. 

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Diminta Bentuk Tim Independen Usut Bentrok Aparat dengan Warga di Pulau Rempang

“Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun.”




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x